Di era globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, pendidikan tidak hanya dituntut menghasilkan lulusan yang cerdas secara akademis, tetapi juga yang memiliki life skills atau keterampilan hidup atau dikatakan juga dengan makna yang lebih luas sebagai kecakapan hidup.
Istilah “life skills” mulai dikenal secara luas pada akhir abad ke-20, terutama ketika organisasi-organisasi internasional seperti World Health Organization (WHO) dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mulai menggunakannya dalam konteks pendidikan dan pengembangan individu.
Jauh sebelum itu, pada akhir abad ke-19 ternyata di Indonesia pendidikan keterampilan telah didengungkan oleh Kartini. Raden Ajeng Kartini, yang dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia, tidak hanya mengangkat isu kesetaraan gender, tetapi juga memiliki pandangan yang visioner mengenai pentingnya pendidikan dan keterampilan hidup (life skill) bagi generasi muda.
Kartini menyadari bahwa pendidikan tidak semata-mata soal membaca, menulis, dan berhitung. Menurutnya, esensi pendidikan adalah kemampuan untuk mandiri, berpikir kritis, serta terampil dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pandangan Kartini sangat relevan hingga kini, terutama dalam konteks bagaimana generasi muda harus dibekali dengan life skill agar siap menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.