Ketika dermaga di pesisir Jepara menerapkan sistem e-ticketing, alasan yang digunakan adalah karena kawasan pelabuhan di pantai kartini tersebut, bukan pelabuhan perikanan secara administratif. Namun, benarkah alasan ini cukup adil dan sah untuk membebani nelayan tradisional—yang telah lama menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat utama beraktivitas?
Artikel ini menyajikan analisis komprehensif dari berbagai sudut—filosofis, historis, teoritis, yuridis, dan sosial—untuk membuktikan bahwa nelayan tradisional memiliki hak yang sah dan kuat atas ruang pesisir tersebut, bahkan jika secara nomenklatur bukan pelabuhan perikanan.
Langkah pungutan yang dilakukan tanpa pertimbangan terhadap nilai sosial dan historis para nelayan tradisional tidak hanya cacat secara moral, namun juga rentan melanggar hukum.
Berikut adalah analisis filosofis, historis, teoritis, yuridis, dan sosial terkait alasan bahwa dermaga tersebut bukan merupakan pelabuhan perikanan atau nelayan, namun tetap digunakan untuk pungutan e-ticketing terhadap nelayan tradisional:
1. Analisis Filosofis: Ruang Hidup Bukan Sekadar Infrastruktur
Secara filosofis, dermaga atau kawasan pesisir adalah bagian dari ruang hidup nelayan, bukan semata fasilitas publik biasa seperti terminal atau tempat wisata. Filsafat keadilan sosial (misalnya dalam pemikiran John Rawls atau Pancasila sila ke-5) menekankan bahwa negara wajib memberikan kemudahan, bukan hambatan, kepada golongan ekonomi lemah. Nelayan tradisional sebagai bagian dari komunitas adat dan budaya pesisir berhak mengakses laut dan fasilitasnya tanpa beban struktural tambahan.
Kesimpulan filosofis: Alasan bahwa dermaga bukan pelabuhan nelayan tidak dapat dijadikan dasar pembenaran untuk pungutan, jika kenyataannya dermaga tersebut telah menjadi ruang hidup dan kerja para nelayan tradisional jauh sebelum ada sistem e-ticketing.