Buliran, Banyuwangi – Lembaga Pemberdayaan dan Kreativitas Masyarakat Indonesia (LPKMI) menyoroti maraknya alih fungsi lahan berstatus LSD (Laham Sawah Dilindungi) yang dikapling tanpa izin resmi di Banyuwangi. Modus yang digunakan para pelaku adalah menjanjikan bahwa sertifikat tanah masih dalam proses pemecahan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sertifikat tersebut tidak mungkin diterbitkan karena lahan tersebut berstatus sebagai lahan pertanian yang dilindungi.
Anggota LPKMI, Saleh Supriyanto, menegaskan bahwa praktik ini tidak hanya melanggar aturan tata ruang dan agraria, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat yang terlanjur membeli lahan tersebut. “Banyak warga tertipu dengan dalih sertifikat dalam proses pemecahan. Padahal, lahan tersebut secara hukum tidak dapat dialihfungsikan tanpa prosedur yang jelas dan izin resmi dari pemerintah,” ujarnya.
Berdasarkan hasil investigasi, praktik ini melanggar beberapa regulasi pertanahan dan tata ruang, antara lain:
1. Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2024-2044.
2. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
5. Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 89 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 32 Tahun 2020 mengenai Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan serta Pengesahan Rencana Tapak.
6. Pertimbangan Teknis Pertanahan Kabupaten Banyuwangi Nomor BYW/PTP.02/716/XI/2024 tertanggal 20 November 2024, yang menegaskan bahwa lahan tersebut merupakan lahan pertanian yang harus dipertahankan.
Selain melanggar regulasi administratif, kegiatan alih fungsi lahan ini juga berpotensi mengandung unsur pidana sesuai dengan beberapa ketentuan hukum, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 69 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang mengubah fungsi ruang tanpa izin dapat dikenakan pidana penjara hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp500 juta.
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pasal 72 menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mengalihfungsikan lahan pertanian tanpa izin dapat dikenakan pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar.
Pasal 73 juga menegaskan bahwa pejabat yang memberikan izin alih fungsi lahan tanpa prosedur yang benar dapat dikenakan sanksi pidana
" Saleh" , menegaskan bahwa pihaknya akan mengambil langkah hukum terhadap praktik ilegal ini. “Kami sudah mengumpulkan bukti-bukti dan akan melaporkan pihak-pihak yang terlibat, baik oknum pengembang maupun pejabat yang membiarkan praktik ini terjadi,” kata .
LPKMI juga mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam membeli tanah, terutama yang berstatus lahan pertanian. “Jangan mudah tergiur dengan harga murah atau janji sertifikat dalam proses pemecahan. Pastikan legalitasnya jelas sebelum bertransaksi,” pungkasnya.
Sangat disayangkan, salah satu di duga Bos Kapling yang diduga memiliki beberapa titik tanah kapling memilih diam saat dikonfirmasi oleh tim media. Upaya konfirmasi telah dilakukan melalui pesan WhatsApp, namun hingga saat ini belum ada respons yang diberikan. Sikap diam ini tentu menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat yang ingin mendapatkan kejelasan terkait status dan legalitas tanah kapling yang dikelola.
Padahal, transparansi dan keterbukaan informasi sangat penting agar tidak menimbulkan spekulasi dan dugaan-dugaan negatif. Publik tentu berharap pihak terkait segera memberikan klarifikasi untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul terkait kepemilikan dan pengelolaan tanah kapling tersebut.
(Redaksi).
Editor : Buliran News