Buliran, Jepara - Kasus penyalahgunaan lahan Perhutani yang sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu, memang tak luput dari perhatian publik. Banyak pihak menyoroti ketidakadilan distribusi lahan.
Choirur, seorang aktivis yang vokal terhadap isu-isu yang melibatkan Perhutani, kembali menyuarakan keprihatinannya.
Menurut Choirur, masalah utama terletak pada transparansi dalam pengelola lahan oleh Perhutani dan adanya pihak- pihak yang mengambil keuntungan dari lokasi lahan ini. Ia berpendapat bahwa lahan Perhutani seharusnya dapat dikelola secara adil bukan untuk kepentingan segelintir pihak, pernyataan tersebut disampaikan Choirur kepada media ini, Selasa (25/3/2025).
Choirur menyoroti pentingnya reformasi tata kelola lahan dan pengawasan ketat dari pemerintah terhadap lembaga yang mengelola sumber daya alam. Ia menyerukan agar pihak berwenang melakukan penyelidikan dan tindakan tegas untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oknum perhutani di wilayah administratif Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara.
Choirur menjelaskan, sudah mendapatkan cukup bukti terkait menyalahgunakan wewenang beberapa oknum perhutani dan akan segera disampaikannya ke Aparat Penegak Hukum (APH).
Tak hanya itu, Choirur juga menyampaikan, ada pengelolaan lahan tanpa izin dari otoritas kehutan dan dibiarkan oleh oknum perhutani.
Diketahui, menyalahgunakan lahan Perhutani secara ilegal terhadap mereka dapat dikenai sejumlah pasal sesuai ketentuan hukum di Indonesia.
Pasal pasal yang dapat menjerat pelaku pengelola lahan Perhutani tanpa ada izin dari yang berwenang antara lain :
1. Pasal 385 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Pasal ini menyangkut penyerobotan lahan diatas lahan milik pihak lain tanpa hak. Jika terbukti ada pihak yang menduduki atau memonopoli lahan Perhutani tanpa izin, pasal ini dapat diterapkan.
2. Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan:
Berdasarkan UU ini, siapa pun yang merambah, merusak atau mengambil manfaat dari kawasan hutan tanpa izin dan otoritas Kehutanan dapat dikenai pidana. Pasal 50 dan pasal 78 dari UU ini berpotensi menjerat pelaku penyalahgunaan lahan hutan.
3. Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Undang-Undang ini bertujuan mencegah dan penyalahgunaan kawasan hutan oleh perorangan atau kelompok, jika terbukti ada pihak yang mengambil keuntungan atau mengelola kawasan hutan tanpa izin, mereka dapat dijerat pidana berdasar UU ini.
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah :
UU ini mengatur kewenangan pemerintah daerah dalam pengelola kawasan hutan di wilayahnya. Pihak yang menyalahgunakan lahan milik negara atau hutan dengan dalih monopoli dapat dikenai sanksi sesuai aturan UU ini.
Adapun pernyataan Choirur mengenai penerapan lex specialis mengacu pada prinsip hukum, bahwa aturan khusus (dalam hal ini, Undang-Undang yang berkaitan dengan kawasan hutan negara) akan mengesampingkan aturan umum (misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP) ketika ada tumpang tindih keduanya.
Dijelaskan juga, prinsip lex specialis derogat legi generali digunakan untuk memberikan prioritas pada peraturan yang secara khusus mengatur suatu bidang atau isu tertentu sehingga lebih relevan dibandingkan aturan umum yang lebih luas cakupannya.
Dalam konteks peraturan hutan negara UU khusus yang berlaku di sekitar Kehutanan akan dianggap lebih tepat diterapkan daripada aturan pidana umum dan KUHP jika ada perselisihan hukum yang melibatkan permasalahan di sekitar kehutanan tersebut.
Choirur akan mengawal permasalahan ini, agar aparat penegak hukum (APH) bertindak tegas jika terbukti ada pelanggaran hukum. (Red)
Editor : Redaktur Buliran