Buliran, Grobogan - Alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan Perhutanan Sosial (PS) baru-baru ini tengah menjadi sorotan publik di Kabupaten Grobogan.
Pasalnya, program Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) yang diberikan kepada Kelompok Tani Hutan (KTH) sejak tahun 2019 hingga 2025 diduga salah satu sebagai penyebab bencana banjir yang sering melanda Kabupaten Grobogan.
Kondisi ratusan hektare lahan IPHPS yang didominasi tanaman jagung sempat santer diberitakan beberapa media, hal ini telah menjadi atensi perhatian khusus Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pusat.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Sosial Kementrian Kehutanan Syafda Roswandi menyatakan, soal bencana banjir di Grobogan pihaknya akan segera melihat melaui citra satelit untuk melihat kondisi lahan Perhutanan Sosial yang ada di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.
Dikatakan, banjir yang melanda diperlukan analisa khusus seperti, survei lokasi titik banjir dan lokasi Perhutanan Sosial, Sehingga dapat dapat disimpulkan apakah banjir yang terjadi akibat pengaruh Perhutanan Sosial atau tidak.
“Kita akan cek dan ricek melaui satelit terlebih dahulu, untuk melihat kondisi lahan PS , serta untuk mengetahui titik banjir yang terjadi di Kabupaten Grobogan,” katanya saat dihubungi kabarterdepan.com melalui telepon Jumat (21/3/2025) siang.
Sementara, penerbitan SK IPHPS berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) P.39 tahun 2017, pada ayat 4 menyatakan bagian syarat penerbitan SK IPHPS adalah areal yang dimohon memiliki tutupan lahan di kurang dari 10 persen.
“Artinya dari seluruh areal hutan yang dimohonkan IPHPS merupakan area serta tutupan lahan yang jumlah tanaman berkayu sedikit dan secara sosial diperlukan penangan khusus. Sehingga diterbitkan IPHPS,” jelasnya.
“Sebab sebelum alih fungsi dilakukan, kondisi hutan sudah rusak, maka diperlukan penanganan melalui program perhutanan Sosial,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Dalam pengelolahan Perhutanan Sosial diatur dalam Permen LHK nomor 4 tahun 2023, di pasal 48 dalam hal pemanfaatan hutan di areal PS diwajibkan untuk dapat dilaksanakan dengan pola wana tani atau Agroforestri,
wana ternak atau Silvopastura, wana mina atau Silvofishery, dan wana tani ternak atau Agrosilvopastura sesuai dengan fungsi hutan dan jenis ruangnya.
“Kewajiban pemanfaatan hutan produksi mencakup budi daya tanaman pokok hutan seluas 50 persen, tanaman multi guna/Multi Purpose Trees Species (MPTS) seluas 30 persen, budi daya tanaman semusim seluas 20 persen dari luasan areal Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial pada KHDPK,” jelasnya.
Dalam hal ini, lanjut Syafda, bagi kelompok belum melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud, maka diperlukan pengawasan terhadap SK IPHPS sebagai pembinaan kepada kelompok Perhutanan Sosial.
“Nantinya akan segera kita lakukan tinjauan monitoring dan evaluasi habis lebaran nanti,” ujar Sekdit Dijen PS tersebut.
Ditambahkan Syafda, tentang tidak lanjut yang akan dilakukan merupakan komitmen dari Kementrian LHK untuk mensukseskan tujuan program Perhutanan Sosial.
“Tentunya kita akan menindaklanjuti dengan meninjau kembali izin kelompok IPHPS, apakah mereka sudah memenuhi kewajiban sesuai RKPS yang di usulkan,” terangnya.
“Bagi kelompok yang melanggar akan kita berikan surat peringatan pertama, jika masih akan diberi peringatan lagi, jika masih belum dilakukan nantinya akan dibekukan/dicabut perizinannya, sesuai dengan Permen LHK nomor 4 tahun 2023,” tandasnya.(Kt/Red)
Editor : Redaktur Buliran