Ancaman Mogok APTRINDO di Tengah Persiapan Mudik Lebaran: Kesejahteraan Sopir Truk yang Terabaikan

Ancaman Mogok APTRINDO di Tengah Persiapan Mudik Lebaran: Kesejahteraan Sopir Truk yang Terabaikan
Ancaman Mogok APTRINDO di Tengah Persiapan Mudik Lebaran: Kesejahteraan Sopir Truk yang Terabaikan

Buliran, Jakarta, Jelang arus mudik Lebaran 2025, ancaman mogok kerja dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) menambah kekhawatiran. Di saat pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan operasional angkutan barang selama 16 hari, kesejahteraan sopir truk justru masih luput dari perhatian.

Bukan hanya tidak mendapat tunjangan hari raya (THR), para sopir truk juga harus menghadapi larangan operasional yang membatasi mereka mencari nafkah menjelang Lebaran. APTRINDO menuntut kompromi dari pemerintah untuk mengurangi durasi pembatasan serta memastikan kesejahteraan sopir truk lebih diperhatikan.

*Pembatasan Operasional Truk dan Ancaman Mogok*

Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara beberapa lembaga terkait yang mengatur pembatasan operasional angkutan barang pada 24 Maret–8 April 2025 di jalan tol dan nontol. Periode ini lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang hanya 10–12 hari.

Keputusan ini menimbulkan protes dari APTRINDO, yang merasa pemerintah tidak mempertimbangkan masukan dari pelaku usaha angkutan barang. Jika tuntutan pengurangan durasi pembatasan tidak diakomodasi, APTRINDO mengancam akan menghentikan seluruh operasi angkutan barang, terutama yang melayani pelabuhan di seluruh Indonesia, mulai 20 Maret 2025.

Jika aksi mogok benar-benar terjadi, dampaknya akan meluas ke berbagai sektor, termasuk industri logistik, pabrik, pergudangan, perkapalan, hingga tenaga buruh bongkar muat.

*Solusi dan Kompromi yang Ditawarkan*

APTRINDO mengusulkan agar pemerintah:

1. Mengurangi durasi pembatasan operasional truk menjadi maksimal 10 hari.

2. Menerapkan aturan lebih ketat terhadap truk over dimension dan over load (ODOL), bukan melarang semua truk beroperasi.

3. Memberikan pemberitahuan larangan operasional minimal satu bulan sebelumnya agar pengusaha angkutan bisa mengatur jadwal perjalanan armada mereka.

Selain itu, pemerintah juga didorong untuk mendorong penggunaan angkutan umum bagi pemudik pribadi dan memprioritaskan angkutan barang. Selama masa work from anywhere (WFA) bagi ASN pada 24–27 Maret 2025, harus ada kebijakan yang mengarahkan pemudik untuk menggunakan transportasi publik agar tidak memperparah kemacetan di jalan raya.

*Kesejahteraan Sopir Truk: Masih Terabaikan*

Di tengah ancaman mogok, kesejahteraan sopir truk menjadi persoalan lain yang tidak kunjung terselesaikan. Survei yang dilakukan Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan pada 2024 menemukan bahwa:

*Usia rata-rata pengemudi truk berkisar 40–55 tahun.*

Banyak pengemudi yang tidak memiliki Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP) atau SIM sesuai jenis kendaraan yang dikemudikan.

Penghasilan sopir truk berkisar Rp1–4 juta per bulan, masih di bawah upah minimum di berbagai daerah.

Pendapatan mereka juga semakin tergerus akibat persaingan tarif dan biaya hidup yang terus meningkat. Dulu, sopir truk masih bisa membayar kenek atau bahkan memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik. Kini, jangankan memiliki pekerja tambahan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga pun semakin sulit.

Ironisnya, meski peran sopir truk sangat krusial dalam distribusi logistik, hingga kini pemerintah belum menetapkan standar minimum upah bagi pengemudi truk. Jika tidak ada kebijakan yang segera dibuat, bukan tidak mungkin mogok massal sopir truk akan terjadi, yang akan berdampak pada distribusi barang secara nasional.

*Kesimpulan: Pemerintah Harus Bertindak Cepat*

Ancaman mogok APTRINDO dan buruknya kesejahteraan sopir truk adalah alarm bagi pemerintah untuk segera mencari solusi. Langkah-langkah kompromi perlu segera ditempuh agar operasional logistik tetap berjalan tanpa mengabaikan kepentingan pemudik.

Indonesia harus belajar dari Jakarta, yang selama 20 tahun terakhir berhasil membangun sistem transportasi publik yang lebih baik. Jika pembenahan angkutan umum di daerah tidak segera dilakukan, maka setiap tahun pemerintah akan selalu menghadapi masalah yang sama.

Sudah saatnya kebijakan transportasi dibuat lebih adil, tidak hanya mengutamakan kelancaran mudik, tetapi juga memastikan keberlanjutan logistik dan kesejahteraan sopir truk. Jika tidak, Indonesia Emas 2045 bisa berubah menjadi Indonesia Cemas.***DS

Editor : Buliran News
Tag: