Sindiran medsos Putra Mahkota Solo 'nyesel gabung Republik' jadi sorotan, bagaimana sejarah Kasunanan Surakarta bergabung ke RI pada 1945?

Sindiran medsos Putra Mahkota Solo 'nyesel gabung Republik' jadi sorotan, bagaimana sejarah Kasunanan Surakarta bergabung ke RI pada 1945?
Sindiran medsos Putra Mahkota Solo 'nyesel gabung Republik' jadi sorotan, bagaimana sejarah Kasunanan Surakarta bergabung ke RI pada 1945?

Pangeran Mahkota Keraton Solo mengkritik pemerintah pusat melalui posting di media sosial. Kalimat-kalimat "Nyesel gabung Republik" yang dikutipnya menjadi perhatian. Mengapa dukungan dan bergabungnya Kasunanan Surakarta ke Republik Indonesia pada 1945 dijadikan bahan kritikan sosial saat ini?

Pertemuan dengan seorang pengusaha dan seorang atlet.

Dengan latar belakang hitam, unggahan tersebut mencantumkan "Nyesel Gabung Republik" dan "Percuma Republik Kalau Cuma untuk Membohongi", seperti dilaporkan Kompas.com.

Kedua postingan sudah dihapus, tetapi tangkapan layarnya dibagikan kembali di media sosial dan menjadi viral.

Berusia 22 tahun, KGPAA Hamengkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram adalah putra dari Pakubuwono XIII bersama permaisuri GKR Pakubuwono.

Dia diangkat menjadi putra mahkota pada tanggal 22 Maret 2022.

Pihak Keraton Kasunanan Surakarta, melalui Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Dany Nur Adiningrat, mengklarifikasi kabar itu dalam konferensi pers di kompleks Keraton pada Senin (03/03).

Dany, yang membacakan pernyataan resmi KGPAA Hamengkunegoro, menyebut kedua postingan itu tidak lepas dari berbagai unggahan putra mahkota sebelumnya terkait situasi di Indonesia.

Salah satu isu yang disebut Dany adalah masalah penganiayaan BBM Pertamina yang menyebabkan kekecewaan luas di masyarakat.

Ekspresi kekecewaannya [KGPAA Mangkunegoro] tersebut [dia] ditulis dalam unggahan di akun Instagram pribadinya [...] yang salah satunya berisi pernyataan tentang penyesalan atas keputusannya bergabung dengan Republik.

"Pernyataan tersebut bukanlah refleksi kehilangan semangat nasionalisme, patriotisme, atau semangat bela negara dalam dirinya, melainkan suatu bentuk kritik dan sindiran terhadap para penyelenggara saat ini," kata Dany membacakan pernyataan klarifikasi dari KGPAA Hamengkunegoro.

Dany mengatakan, unggahan itu juga bertujuan untuk menyoroti pemerintahan saat ini yang jauh dari harapan leluhur raja-raja Keraton Surakarta yang dulu berperan dalam perjuangan kemerdekaan.

"Seharusnya para pemimpin negara memiliki kesadaran moral dan etika dalam mengelola pemerintahan demi kepentingan rakyat banyak," katakannya, seperti dilansir wartawan di Solo, Fajar Sodiq untuk BBC Indonesia.

Sesuai dengan posting "Percuma Republik Kalau Cuma Untuk Membohongi', katanya, terkait dengan sikap pemerintahan yang dianggap melupakan peran Keraton dalam menyerahkan kedaulatan dan bergabung dengan Indonesia.

Di sisi lain, Dany menekankan unggahan KGPAA Hamengkubuwono IX merupakan "bahasa satir".

"Ini adalah bahasa satir, bukan soal menyesal atau membohongi, tapi ini adalah kritikan," ujarnya.

Dany menganjurkan agar pemerintah menanggapi kritik dari KGPAA Hamengkunegoro dengan bijak.

"Ini adalah unggahan yang satir, yang baik dari beliau. Pemerintah harus memahami pesan ini dengan jelas dan cerdas," katanya.

Sang putra mahkota Keraton Surakarta yang merupakan pewaris darah Majapahit dan Kerajaan Mataram tentu tidak akan berbicara sembarangan. Ini adalah peringatan keras yang harus didengar.

Dalam pernyataannya, Dany menyebutkan bahwa Keraton Surakarta adalah satu-satunya keraton yang tidak menjadi bagian dari pemerintahan.

"Saya rasa Keraton Surakarta satu-satunya dari Majapahit, dari Mataram Islam, yang bukan [bagian] pemerintahan. Jika bagian dari pemerintahan mengkritik, kan, tidak etis," ujarnya.

Ketika ditanya apakah kata "membohongi" dalam postingan itu berkaitan dengan wacana pengembalian status khusus Surakarta, Dany menyebut ada hak-hak keraton Surakarta yang masih ditangguhkan.

) untuk meminta tanggapan.

Tapi, hingga berita ini diturunkan, orang bersangkutan belum memberikan jawaban.

Berikut adalah catatan sejarah Kasunanan Surakarta mendukung dan bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1945:

Kasunanan Surakarta secara sebenarnya menyatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih dahulu daripada Kesultanan Yogyakarta.

Itu dijelaskan oleh sejarawan UGM, Dr. Sri Margana, dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada Senin (03/03).

"Benar-benar yang pertama kali menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia adalah Surakarta, bukan Yogyakarta, pada tanggal 5 September 1945," kata Sri Margana melalui telepon.

Sri Margana menyebutkan bahwa Keraton Surakarta adalah salah satu dari empat wilayah swapraja di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.

Empat wilayah swapraja—diakui otonominya—adalah Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.

Serangan Belanda setelah proklamasi kemerdekaan membuat pemerintah saat itu memindahkan pusat pemerintahan ke Yogyakarta pada bulan Januari 1946.

Pada saat yang sama, di Surakarta, muncul gerakan anti-kekuasaan tradisional dari kelompok-kelompok sayap kiri yang menentang feodalisme.

Sri Manggala menjelaskan bahwa mereka menentang Keraton Surakarta karena masih memilih pejabat-pejabat daerah yang sebelumnya sudah berkuasa pada masa kolonial.

Hal ini pun menyebabkan gejolak sosial di daerah tersebut, yang diwarnai dengan aksi penculikan, pembunuhan terhadap patih, dan pembakaran kantor kantor pemerintahan.

Pada akhirnya, pada bulan Juli 1946, status khas Surakarta kemudian ditangguhkan oleh pemerintah pusat.

Menurut Sri Margana, gerakan seperti itu tidak terjadi di wilayah-wilayah yang dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII karena kepemimpinan keduanya dianggap pro-republik.

"Ya karena mereka menghadapi reaksi politik yang berbeda," ujarnya.

Sri Margana menjelaskan Surakarta telah beberapa kali berusaha untuk memulihkan status keistimewaannya, tetapi gagal.

"Ya, kalau penyesalan bergabung [dengan Indonesia] itu maksudnya adalah itu [....] kurang lebih secara sejarah latar belakangnya itu," ujar Sri Margana.

Kita tidak mengetahui apakah ada janji-janji yang diberikan oleh pemerintah kepada Kasunanan Surakarta.

Di pihak lain, Sri Margana menyebutkan bahwa aset-aset Keraton Solo yang digunakan oleh pemerintah daerah perlu penjelasan mengenai status hukumnya.

Keraton Surakarta, katanya, memiliki hak sejarah atas wilayahnya, sehingga pemerintah perlu membicarakan status aset-aset tersebut dengan jelas.

Bagaimana masyarakat Solo melihat Keraton pada masa kini?

Pegiat sejarah dan Ketua Komunitas Solo Societeit, Dani Saptoni, menyatakan bahwa masyarakat setempat sebenarnya sudah tidak terlalu terganggu dengan kondisi Keraton karena mereka jenuh dengan berita-berita konflik internal yang sering terjadi.

"Kita yang di Solo berharap Keraton sebagai tempat dimana keselarasan itu ada. Namun, kenyataannya kita tidak bisa begitu. Mengapa? Konflik internal yang terus berlangsung dan tidak ada akhirnya yang terjadi di Keraton," ujar Dani kepada BBC News Indonesia pada Senin (03/03).

Dani mengacu pada konflik internal di Keraton Surakarta yang berlangsung sejak wafatnya Pakubuwono XII pada tahun 2004.

Tidak ada pengumuman resmi tentang siapa yang akan menggantikan tahta, sehingga perebutan kekuasaan terjadi antara anggota keluarga kerajaan.

Perpecahan ini menghasilkan dua kubu besar, yaitu pihak yang mendukung KGPH Hangabehi sebagai raja dan pihak yang mendukung KGPH Tedjowulan.

Perselisihan ini semakin memperumit situasi internal keraton, sehingga menyebabkan ketidakstabilan dalam pengelolaan adat dan budaya Jawa yang diturunkan secara turun-temurun.

Selain masalah warisan, konflik juga terjadi karena sengketa atas aset keraton, termasuk tanah, bangunan, dan barang pusaka bersejarah.

Beberapa pihak di dalam keluarga kerajaan berselisih tentang hak kepemilikan atas aset-aset tersebut, yang berakhir dengan berbagai aksi protes, penguncian akses ke bangunan keraton, serta intervensi dari pemerintah daerah yang berakhir dengan rekonsiliasi pada tahun 2023.

Sejarawan UGM Sri Margana mengakui konflik yang panjang berdampak pada "karisma" Keraton Solo.

Apa yang membuat kekuasaan Keraton menurun? Jawabannya adalah konflik internal. Jadi, kelebihan dan kekurangan Keraton pun terungkap, kan?

Pada sisi lain, Sri Margana menganggap wajar jika generasi sekarang memiliki pandangan yang berbeda terhadap Keraton.

"Sebenarnya masyarakat tradisional, terutama mereka yang generasi tua, masih sangat menghormati Keraton itu," ujarnya.

Masyarakat Solo—terutama kalangan akademisi—akan menilai KGPAA Hamengkunegoro sebagai orang yang "peka terhadap zaman" melalui unggahannya.

"Dia peduli dan simpati terhadap kegaduhan yang ada di negara itu," ujar Dani.

Dani menyatakan, ekspresi kekecewaan KGPAA Hamengkunegoro tersebut menegaskan ketegangan masyarakat terhadap pemerintah pusat.

"Karena pada akhirnya semua lapisan masyarakat mengeluarkan satu pernyataan yang menentang pemerintah," kata Dani.

[Unggahan dia] adalah bentuk kritik terhadap situasi yang kurang adil yang terjadi di negara kita. Karena banyaknya regulasi yang ternyata menyebabkan ketimpangan di kalangan masyarakat bawah.

Namun, lagi-lagi, Dani menyebut pernyataan Putra Mahkota Solo itu hanya akan menjadi "perubahan kecil-kecil" saja.

"Keraton sudah tidak populer," katanya.

Keraton tidak lagi memiliki otoritas politik. Dia hanya berfungsi sebagai simbol pusat kebudayaan Jawa.

Dani menyebut positing KGPAA Hamengkunegoro bisa dikatakan "gegabah" dari sisi sejarah karena bagaimanapun itu adalah "takdir sejarah".

"Dia tidak mewakili perasaan masyarakat Surakarta. Itu hanya personal dari lingkaran Keraton," katanya.

Seorang sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Rezza Dian Akbar, menyatakan bahwa unggahan Putra Mahkota Solo itu hanya akan populer sementara dan akan tenggelam.

Di sisi lain, orang akan memperhatikan sosok putra mahkota yang mempunyai status penting secara budaya dan tinggal di kota yang sama dengan mantan Presiden Jokowi.

"Penting dalam situasi politik yang sedang mengemuka saat ini, ketika legitimasi pemerintah sedang berada di posisi terendah di mata masyarakat," ungkapnya.

Meski demikian, sejarawan UGM Sri Margana menilai bahwa apa yang dilakukan KGPAA Mangkunegoro bisa saja merupakan upaya untuk memulihkan reputasi Keraton Surakarta.

"Saya pikir Putra Mahkota [Solo] mencoba untuk membangun kembali reputasi Keraton dulu yang memang luar biasa. Dalam sejarah, kita mengenal banyak Raja-Raja Surakarta yang anti-kolonial seperti Pakubuwana IV yang melawan VOC dan Pakubuwana VI yang mendukung Pangeran Diponegoro," ujarnya.

Sri Margana menambahkan pemerintah pusat harus memperhatikan pernyataan yang dilontarkan anggota Keraton.

"Bayangkan bila calon Raja atau Putra Mahkota sudah mulai berbicara. Menurut filsafat Jawa, setelah diucapkan, tidak boleh disembunyikan. Oleh karena itu Raja itu sangat berhemat dalam berbicara, hanya akan berbicara hal-hal yang sangat penting," ujar Margana.

Bila raja berbicara atau bersabda, baik berapa pun singkatnya, itu bagi orang Jawa sangatlah penting.

Margana menganggap masyarakat seharusnya mendukung pernyataan KGPAA Hamengkubuwono IX yang menurutnya mewakili perasaan dari sebagian besar masyarakat Indonesia.

Masyarakat ada yang merasa bahwa banyak janji-janji pemerintah yang belum bisa dipenuhi, baik oleh rezim sekarang maupun yang sebelumnya.

Wartawan di Solo, Fajar Sodiq, turut berkontribusi dalam liputan ini.

Baca juga:

Baca juga:

Baca juga:

Editor : Buliran News
Tag: