Keraton tidak lagi memiliki otoritas politik. Dia hanya berfungsi sebagai simbol pusat kebudayaan Jawa.
Dani menyebut positing KGPAA Hamengkunegoro bisa dikatakan "gegabah" dari sisi sejarah karena bagaimanapun itu adalah "takdir sejarah".
"Dia tidak mewakili perasaan masyarakat Surakarta. Itu hanya personal dari lingkaran Keraton," katanya.
Seorang sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Rezza Dian Akbar, menyatakan bahwa unggahan Putra Mahkota Solo itu hanya akan populer sementara dan akan tenggelam.
Di sisi lain, orang akan memperhatikan sosok putra mahkota yang mempunyai status penting secara budaya dan tinggal di kota yang sama dengan mantan Presiden Jokowi.
"Penting dalam situasi politik yang sedang mengemuka saat ini, ketika legitimasi pemerintah sedang berada di posisi terendah di mata masyarakat," ungkapnya.
Meski demikian, sejarawan UGM Sri Margana menilai bahwa apa yang dilakukan KGPAA Mangkunegoro bisa saja merupakan upaya untuk memulihkan reputasi Keraton Surakarta.
"Saya pikir Putra Mahkota [Solo] mencoba untuk membangun kembali reputasi Keraton dulu yang memang luar biasa. Dalam sejarah, kita mengenal banyak Raja-Raja Surakarta yang anti-kolonial seperti Pakubuwana IV yang melawan VOC dan Pakubuwana VI yang mendukung Pangeran Diponegoro," ujarnya.
Sri Margana menambahkan pemerintah pusat harus memperhatikan pernyataan yang dilontarkan anggota Keraton.
"Bayangkan bila calon Raja atau Putra Mahkota sudah mulai berbicara. Menurut filsafat Jawa, setelah diucapkan, tidak boleh disembunyikan. Oleh karena itu Raja itu sangat berhemat dalam berbicara, hanya akan berbicara hal-hal yang sangat penting," ujar Margana.
Editor : Buliran News