Keraton Surakarta, katanya, memiliki hak sejarah atas wilayahnya, sehingga pemerintah perlu membicarakan status aset-aset tersebut dengan jelas.
Bagaimana masyarakat Solo melihat Keraton pada masa kini?
Pegiat sejarah dan Ketua Komunitas Solo Societeit, Dani Saptoni, menyatakan bahwa masyarakat setempat sebenarnya sudah tidak terlalu terganggu dengan kondisi Keraton karena mereka jenuh dengan berita-berita konflik internal yang sering terjadi.
"Kita yang di Solo berharap Keraton sebagai tempat dimana keselarasan itu ada. Namun, kenyataannya kita tidak bisa begitu. Mengapa? Konflik internal yang terus berlangsung dan tidak ada akhirnya yang terjadi di Keraton," ujar Dani kepada BBC News Indonesia pada Senin (03/03).
Dani mengacu pada konflik internal di Keraton Surakarta yang berlangsung sejak wafatnya Pakubuwono XII pada tahun 2004.
Tidak ada pengumuman resmi tentang siapa yang akan menggantikan tahta, sehingga perebutan kekuasaan terjadi antara anggota keluarga kerajaan.
Perpecahan ini menghasilkan dua kubu besar, yaitu pihak yang mendukung KGPH Hangabehi sebagai raja dan pihak yang mendukung KGPH Tedjowulan.
Perselisihan ini semakin memperumit situasi internal keraton, sehingga menyebabkan ketidakstabilan dalam pengelolaan adat dan budaya Jawa yang diturunkan secara turun-temurun.
Selain masalah warisan, konflik juga terjadi karena sengketa atas aset keraton, termasuk tanah, bangunan, dan barang pusaka bersejarah.
Beberapa pihak di dalam keluarga kerajaan berselisih tentang hak kepemilikan atas aset-aset tersebut, yang berakhir dengan berbagai aksi protes, penguncian akses ke bangunan keraton, serta intervensi dari pemerintah daerah yang berakhir dengan rekonsiliasi pada tahun 2023.
Sejarawan UGM Sri Margana mengakui konflik yang panjang berdampak pada "karisma" Keraton Solo.
Editor : Buliran News