"Dengan regulasi ketat seperti sekarang ini, kecolongan dan penipuan sering terjadi. Bagaimana jika sudah dibebaskan?" kata dia.
Zaky juga membandingkan pentingnya larangan umrah mandiri dengan pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA). Menurut Zaky, pencatatan tersebut bukanlah wajib secara syariat, tetapi diwajibkan oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan pernikahan yang tidak bertanggung jawab.
"Jangan sampai ada orang-orang yang melaksanakan haji secara mandiri. Ini adalah keinginan hidup banyak orang di Indonesia," katanya.
Pengajuan AMPHURI untuk melarang umrah mandiri mendapat tanggapan santai dari kalangan pelaku umrah mandiri. Menurut Annisa, hal itu merupakan bentuk ketakutan dari mereka sendiri. Padahal, walaupun banyak orang melakukan perjalanan umrah secara mandiri, tetapi ada juga yang masih memilih menggunakan jasa mereka.
“Jadi, tidak perlu diulas panjang lebar. Kita kembali pada hukum saja. Siapa pun bebas untuk memilih agamanya dan ibadahnya,” pungkasnya.
Ini seharusnya dilarang oleh pemerintah, tetapi sebaiknya pemerintah memperkuat regulasi terlebih dahulu.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, ada larangan bagi pihak yang tidak memiliki lisensi PPIU untuk mengumpulkan dan/atau mengantar jemaah umrah dan bagi pihak yang tidak memiliki lisensi PPIU untuk menerima pembayaran biaya umrah.
Oleh karena itu, kalau memang melarang, larangan tersebut juga harus disusun dalam peraturan hukum. Hal tersebut nantinya harus dibahas oleh pemerintah dan DPR untuk perubahan UU Nomor 8 Tahun 2019.
Saat ini, Kementerian Agama hanya bisa memberikan peringatan kepada umat yang akan melakukan umrah agar memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan melalui PPIU. Namun, Kemenag tidak dapat memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar karena tidak ada peraturan yang mengatur hal itu.
Editor : Buliran News