CEO perusahaan itu, Zohaib Ahmed, mengatakan bahwa untuk mendapatkan salinan suara seseorang yang berkualitas, piranti lunak it perlu rekaman seseorang yang berbicara minimal 10 menit."Saat pelajari suara Anda, kecerdasan buatan itu mempelajari banyak aspek seperti getaran, nada, dan intensitas," katanya.
"Selain itu juga mempelajari ribuan fitur lain [dari suara orang yang bersangkutan] yang mungkin tidak begitu jelas terdengar bagi kita."Kecanggihan teknologi kloning suara di satu sisi memang punya potensi komersial.
Namun, di sisi lain, mengundang kekhawatiran bahwa teknologi ini bisa digunakan dalam kejahatan siber - yaitu mengelabui orang bahwa seakan-akan ada orang lain berbicara.Bersama dengan video palsu buatan komputer, kloning suara juga bisa disebut "deepfake."
Pakar keamanan siber Eddy Bobritsky mengatakan ada "risiko keamanan yang besar" dari suara sintetis tersebut."Saat muncul email atau pesan tertulis, sudah diketahui selama bertahun-tahun bahwa itu cukup mudah untuk meniru orang lain," kata bos perusahaan Minerva Labs asal Israel itu.
"Sedari dulu, berbicara lewat telepon dengan seseorang yang Anda percaya dan kenal betul merupakan satu dari cara paling umum untuk meyakinkan Anda memang familiar dengan orang itu."Namun Bobritsky mengatakan eranya kini sudah berubah. "Contohnya, bila seorang bos menelpon bawahannya untuk menanyakan informasi yang sensitif, lalu stafnya mengenali suara itu, dan langsung merespons seperti yang diminta. Itu merupakan celah bagi banyak kejahatan siber."
Nyatanya, sudah ada kasus yang dilaporkan Wall Street Journal pada 2019. Seorang manajer asal Inggris saat itu jadi korban penipuan setelah mentransfer €220.000 (Rp4,4 miliar lebih) kepada penipu yang menggunakan kloningan suara bos sang korban asal Jerman."Langkah-langkah untuk menghadapi teknologi ini dan ancaman yang ditimbulkan perlu segera dibuat," kata Bobritsky.
Para perusahaan teknologi di seluruh dunia nyatanya sudah melakukan hal itu, seperti dilaporkan seorang spesialis kecerdasan buatan dari web berita Venture Beat.Perusahaan-perusahaan itu bisa memonitor audio untuk memastikan apakah itu palsu, dengan mencermati tanda-tanda seperti pengulangan, kebisingan digital, dan penggunaan frasa atau kata-kata tertentu.Sejumlah pemerintah dan badan penegak hukum juga mulai memperhatikan masalah itu.Tahun lalu, badan penegak hukum Uni Eropa, Europol, mendesak negara-negara anggota untuk membuat "investasi secara signifikan" dalam teknologi yang bisa mendeteksi deep fake. Di AS, California telah melarang kloning suara dalam kampanye politik.
Kembali ke Texas, Tim Heller mengaku belum menjual suara kloningannya. Namun, "beberapa klien sudah berminat."Namun apakah dia khawatir bahwa dalam jangka panjang dia bisa kehilangan pekerjaan karena suara sintetis dari orang lain?
"Saya tidak khawatir itu bisa membuat saya kehilangan pekerjaan," ujarnya. "Saya sungguh-sungguh merasa selalu akan ada tempat untuk suara manusia sungguhan.Inti menggunakan 'dubbingan' [kloning suaranya] bukan untuk menggantikan saya atau orang lain, namun berguna sebagai alat tambahan dalam bisnis saya."
Editor : Buliran News