BuliranNews, JAKARTA - Sungguh tragis nasib puluhan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hanya dengan alasan tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), kartu merah harus mereka terima. Para komisioner anti rasuah itu sepertinya lupa akan deretan prestasi manis yang diukir para mantan pegawai tersebut.Terkait tetap keukeuhnya Firli Bahuri Cs dengan kartu merah yang telah mereka layangkan itu, Ketua Wadah Pegawai KPK nonaktif, Yudi Purnomo mengungkapkan, puluhan pegawai yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) akan tetap menempuh jalur hukum. Hal itu menyusul keputusan pemecatan terhadap 51 pegawai KPK oleh pimpinan lembaga antirasuah tersebut.
"Walaupun sampai sekarang kami belum mendapatkan SK pemberhentian, tapi setelah nanti mendapatkan kami akan melakukan perlawanan hukum," kata Yudi Purnomo dalam keterangan, Kamis (16/9).Yudi mengatakan, upaya hukum dilakukan karena keputusan yang diambil pimpinan KPK tidak sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. Dia menilai bahwa pimpinan KPK seperti berlawanan dengan perintah presiden yang menyebutkan bahwa TWK bukan sebagai patokan pegawai KPK dapat beralih menjadi ASN.
Yudi berharap, Presiden Jokowi segera mengambil sikap mengenai permasalahan pegawai KPK yang diberhentikan karena proses TWK. Menurutnya, hanya Jokowi sebagai panglima tertinggi yang dapat memberhentikan atau tidak 51 Pegawai KPK tersebut."Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan. Mengapa para pejuang antikorupsi, penyidik, penyelidik dan pegawai lainnya yang selama belasan tahun ini telah memberantas korupsi, tapi pada kenyataannya malah diberhentikan dengan alasan TWK. Padahal arahan Presiden pada Mei yang lalu sudah jelas bahwa 75 orang pegawai KPK ini tidak boleh diberhentikan," katanya.
KPK pada Rabu (15/9) mengumumkan pemecatan 51 pegawai yang dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan TWK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021.Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, lembaganya memiliki waktu dua tahun untuk melakukan peralihan status seluruh pegawai menjadi ASN. Dia mengeklaim, bahwa KPK hanya melaksanakan amanat undang-undang. “Jadi tidak ada istilah percepatan atau perlambatan sesuai keputusan saja," singkatnya.
Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Eko Riyadi mengatakan, kehadiran KPK sejak awal berdirinya mendapatkan dukungan dari masyarakat sipil. Hal itu karena KPK menjadi kekuatan pemberantasan korupsi yang selama ini disuarakan publik dan kekuatan masyarakat sipil.Namun saat ini ia melihat pimpinan KPK dengan penuh percaya diri mengabaikan suara publik dan aspirasi masyarakat sipil, bahkan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman RI soal TWK. Tanpa menunggu sikap Presiden, pimpinan KPK langsung memberhentikan para pegawainya yang tak lolos TWK.
"Suara publik diabaikannya, suara lembaga independen Komnas HAM dan Ombudsman RI diacuhkannya," kata Eko kepada wartawan, Kamis (16/9).
Masih ada celahKomisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meyakini masih ada celah bagi Presiden Jokowi untuk mendengarkan rekomendasi Komnas HAM dan mengambil sikap soal polemik TWK pegawai KPK. Walaupun pimpinan KPK saat ini sudah memutuskan pemecatan 51 pegawai KPK per 1 Oktober 2021.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, Presiden masih berwenang dan bisa mengambil langkah untuk menyelesaikan persoalan TWK KPK. Ia masih meyakini temuan dan rekomendasi Komnas HAM tetap bisa dijadikan batu pijak untuk langkah tersebut."Komnas HAM sepakat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung memang harus dihormati. Namun, jika disandingkan dengan temuan faktual Komnas HAM maupun rekomendasinya, secara hukum berbeda dan tidak bisa disandingkan," kata Anam kepada wartawan, Kamis (16/9).
"Oleh karenanya, Presiden bisa menjadikan rekomendasi Komnas HAM sebagai pijakan dengan tetap menghormati putusan MK dan MA terkait norma tersebut masih bisa diambil. Hal ini sebagai wujud tata kelola Negara Konstitusional," imbuhnya.Ombudsman RI juga telah mengirimkan rekomendasi terkait TWK KPK kepada Presiden Joko Widodo, Kamis (16/9). Meskipun rekomendasi Ombudsman RI baru disampaikan sehari setelah pemberhentian pegawai KPK, tapi anggota Ombudsman yakin Presiden Joko Widodo akan membaca substansi rekomendasi dari Ombudsman RI tersebut.
"Biar Presiden membaca dulu substansi (rekomendasi)nya," kata Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng, Kamis (16/9).Robert yakin rekomendasi Ombudsman tetap berguna dan disikapi Presiden Jokowi, walaupun Pimpinan KPK sudah memberhentikan 51 pegawainya yang tidak lolos TWK. Karena itu, tegas Robert, ia membantah bila rekomendasi Ombudsman tidak ditanggapi atau diabaikan. "Kok bilang belum ditanggapi? Rekom kami baru dikirim hari ini," ujar Robert.
Editor : Buliran News