BuliranNews, JAKARTA – Pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa dari perguruan tinggi kepada para pejabat mendapat sorotan. Gelar doktor kehormatan dinilai sudah menjadi barang obralan, sehingga kehilangan makna, dan ujungnya dapat mengancam kebebasan akademik.
Teranyar, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berencana memberi gelar doktor honoris causa kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Rencana ini mendapat penolakan keras dari Aliansi Dosen UNJ.
Musababnya, pedoman penganugerahan gelar kehormatan UNJ mengatur bahwa gelar kehormatan tidak diberikan kepada siapa pun yang sedang menjabat dalam pemerintahan. Aturan tersebut diputuskan pada 10 Maret 2021 oleh rapat pleno senat UNJ.
“Aturan ini dibuat untuk menjaga otonomi dan marwah universitas,” ujar anggota Aliansi Dosen UNJ, Ubedilah Badrun, pekan lalu.
Selain itu, permasalahan lainnya adalah gelar doktor honoris causa untuk Ma’ruf diusulkan oleh Fakultas Ilmu Sosial UNJ. Sesuai dengan Peraturan Rektor Nomor 10 Tahun 2019, pengusul harus dari program studi S-3 yang terakreditasi A, bukan dari fakultas secara langsung. Di UNJ, Fakultas Ilmu Sosial tidak memiliki program S-3 yang terakreditasi A.
Sementara itu, pengusul Erick Thohir berasal dari Fakultas Ilmu Olahraga. “Erick Thohir adalah pebisnis, lalu apa hubungannya dengan pemberian gelar di bidang olahraga? Secara karya, keduanya juga masih dalam perdebatan. Dan menurut kami, tidak layak dijadikan syarat untuk mendapat gelar doktor kehormatan,” ujar Ubed.
Terganjal sejumlah aturan yang dibuat sendiri, UNJ justru berencana mengubah aturan yang menjadi batu sandungan itu. UNJ dalam keterangan resminya pada 19 Oktober lalu menyebut, kampus akan melakukan harmonisasi regulasi UNJ. Di antaranya, peninjauan terhadap draf pedoman pengusulan penganugerahan doktor kehormatan.
Sebab, draf tersebut dinilai tidak sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 27, Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2016, Statuta UNJ, dan Peraturan Rektor tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan. Keputusan tersebut sesuai hasil rapat Senat UNJ pada 14 Oktober 2021.
“Sejauh ini belum ada pembahasan lagi dari senat terkait HC di UNJ,” ujar Juru bicara UNJ, Syaifudin, Senin, 25 Oktober 2021. Informasi yang diperoleh Tempo, pimpinan Senat menargetkan merevisi aturan universitas paling tidak 30 hari sejak rapat terakhir.
Direktur Institute for Democracy, Security, and Strategic Studies (IDESSS), Reni Suwarso menyesalkan langkah UNJ yang terkesan mengubah aturan hanya demi memberi gelar kehormatan kepada pejabat.
“Padahal aturan UNJ yang sebelumnya itu sudah progresif, kenapa juga mesti diubah sehingga bisa membuka peluang untuk memberikan gelar honoris causa kepada pejabat?,” ujar Reni dalam diskusi Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) bertajuk ”Polemik Pemberian Gelar Doktor Kehormatan: Quo Vadis Kebebasan Akademik”, Selasa (19/10).
Ia mengingatkan, pemberian gelar doktor honoris causa bukan sekadar titel. “Ada karakter dasar universitas yang universal; norma, etika, moral; juga harga diri kampus, independensi, otonomi kampus, dan kebebasan akademik dibalik itu,” tuturnya.
UNJ hanya salah satu dari deretan panjang yang mendapat sorotan karena rencana pemberian gelar doktor honoris causa kepada para pejabat. Februari lalu, Universitas Negeri Semarang (Unnes) juga disorot karena memberikan gelar doktor honoris causa kepada mantan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Nurdin Halid.
Pemberian gelar kepada Nurdin diwarnai aksi protes belasan mahasiswa Unnes. Para mahasiswa menolak pemberian gelar doktor kehormatan tersebut karena rekam jejak Nurdin sebagai mantan narapidana kasus korupsi dana distribusi minyak goreng Bulog.
Obral gelar doktor kehormatan juga terjadi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kampus ditengarai memiliki motif politik dibalik praktik pemberian gelar doktor kehormatan kepada sejumlah politikus dan pejabat. Salah satunya Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar yang dianugerahi gelar doktor kehormatan bidang manajemen pemberdayaan masyarakat, pada 11 Juli 2020.
Reni menilai, adanya praktik jual beli gelar membuat tata kelola kampus seperti struktur korporat, bukan struktur akademik. “Hal ini merupakan ancaman bagi kebebasan akademik,” tuturnya.
Dosen Ilmu Politik FISIP UI ini menyebut, hal-hal demikian bisa terjadi karena ada aktor-aktor yang berperan di dalamnya. Pertama, kelompok oportunis pragmatis. Biasanya, ujar Reni, kelompok ini berasal dari pejabat pemerintah yang menginginkan gelar honoris causa untuk meningkatkan posisinya atau pun gengsinya di tengah masyarakat.
“Bagaimana itu bisa terjadi? Di sinilah peran aktor kedua. Ternyata di dalam kampus ada kelompok oportunis pragamatis, yang menjual kampus demi ambisi untuk menambah jaringan, ingin mempunyai akses terhadap proyek-proyek atau pun ingin menjadi pejabat,” tuturnya.
Praktik-praktik jual beli gelar di kampus, lanjut Reni, juga semakin mulus terjadi karena banyaknya kelompok nerd alias kutu buku. Kelompok ini dinilai menjadi mayoritas di kampus, mereka yang hanya peduli dengan kepentingan pribadi untuk mengejar kredit mengajar, tanpa peduli polemik kebijakan yang terjadi di dalam kampus.
“Jadi ada tiga aktor itu tadi. Memang di Indonesia ini lucu, ada dosen di dalam kampus cita-citanya ingin jadi menteri, ada juga yang ingin jadi komisaris di luar kampus. Sementara orang-orang yang di luar kampus, bercita-cita ingin menjadi Profesor Doktor seperti di dalam kampus. Aneh,” tuturnya.
Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbudristek, Nizam mengatakan pemberian gelar doktor honoris causa merupakan kewenangan kampus. “Pemberian gelar Dr HC pada dasarnya menjadi kewenangan perguruan tinggi untuk memberikannya,” ujar Nizam saat dihubungi Tempo pada Jumat, 22 Oktober 2021.
Permenristekdikti Nomor 65 tahun 2016 mengatur bahwa gelar doktor kehormatan merupakan gelar kehormatan yang diberikan oleh perguruan tinggi yang memiliki program doktor dengan peringkat terakreditasi A atau unggul kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau berjasa luar biasa dalam bidang kemanusiaan.
“Kriterianya sudah ada, sementara mekanisme dan reviewnya diatur oleh masing-masing perguruan tinggi,” ujar Nizam.
Saat ditanya ihwal peran Kemendikbudristek untuk menjaga marwah kampus dalam pemberian gelar kehormatan, Nizam menyebut kementeriannya bisa menegur jika ada pelanggaran. Untuk polemik di UNJ, ia mengaku Kemendikbudristek belum melakukan pendalaman.
Koalisi untuk Kebebasan Akademik mendukung Aliansi Dosen UNJ untuk konsisten menolak rencana pemberian gelar doktor honoris causa kepada pejabat, dalam hal ini Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Rencana UNJ menghapus aturan yang melarang pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada pejabat dinilai dapat mengurangi integritas kampus dan menciptakan konflik kepentingan dalam lingkungan perguruan tinggi.
“Upaya penghapusan ketentuan tersebut bukanlah harmonisasi peraturan, melainkan bentuk kejahatan legislasi karena melegitimasi tindakan pelanggaran hukum dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki,” ujar perwakilan koalisi, Dhia Al Uyun.
Koalisi untuk Kebebasan Akademik mengingatkan, pasal 62 dan 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memang telah memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk melakukan otonomi. Namun, ujar Dhia, otonomi yang diberikan bukanlah otonomi yang mutlak.
“Melainkan otonomi yang bersendikan akuntabilitas publik, pertanggungjawaban, transparansi dan keterbukaan terhadap kritik dan perbaikan institusi pendidikan,” demikian pernyataaan koalisi yang terdiri dari 21 organisasi dan 15 individu ini.
Adapun pihak UNJ menyatakan perubahan aturan bagian upaya meningkatkan dan memperbarui tata kelola lembaga yang baik lewat harmonisasi. Harmonisasi ini dilakukan bukan untuk memaksakan pemberian gelar doktor kehormatan kepada seseorang. “UNJ berkomitmen untuk selalu menjunjung tinggi prinsip-prinsip integritas, legalitas, transparansi, kepatutan, dan kesetaraan pada setiap aktivitas, termasuk dalam pemberian gelar doktor kehormatan,” dalam pernyataan resminya, 18 Oktober lalu. (*/tempo)