JIKA kalian mampir di Kota Madiun, pasti Anda akan mendengar nama Arjo. Ya, di sini Arjo memang sangat populer. Arjo sendiri, bukanlah nama orang, namun nama yang mengacu pada Arak Jowo, minuman keras jenis arak yang sudah puluhan tahun jadi pilihan untuk membuat teler penikmatnya di bekas wilayah keresidenan Madiun.
Tidak ada yang tahu kapan awal produksi Arjo. “Sejak zaman mbah-mbah dulu sudah ada,” kata Suwarno, warga Kabupaten Ngawi. Dia mengatakan arjo yang dikonsumsi warga setempat merupakan hasil produksi sejumlah warga di Ngawi.
Beberapa desa di wilayah tersebut dikenal sebagai penghasil arjo. Namun, pria berusia 58 tahun ini keberatan jika nama-nama desa pengolah miras ditulis secara detail di media massa. “Takut mengganggu pencaharian warga,” katanya.
Miras bernama Arjo ini, adalah minuman keras yang berbahan baku tetes tebu alias molases.
Proses pembuatannya sederhana. Produk sisa dari proses pembuatan gula ini direndam dengan air selama tujuh hari. Bahan kemudian dimasukkan ke dalam tong untuk disuling. Bagian bawah dari tong tersebut dibakar dengan kayu. Satu tong ditempatkan di satu pawon (dapur yang terbuat dari tanah liat).
Karena temperatur panas yang tinggi, tetes tebu mulai menguap. Uap itu disalurkan ke gentong melalui pipa yang terbuat dari bambu. Beberapa waktu kemudian, cairan bening yang disebut arak mulai menetes ke dari genthong melalui selang kecil.
Di bawah gentong, ditempatkan sebuah ember untuk menampung arak yang sudah jadi. Penyulingan satu tong berisi 30 liter tetes tebu tanpa campuran air membutuhkan sekitar 12 jam. Hasil penyulingan itu berupa 10 liter arak.
Sebelum dijual, arjo dimasukkan di bak penampungan untuk didinginkan. Lalu, disaring dengan arang. Setelah disaring baru siap dijual. Alat pengukuran kadar alkohol menunjukkan, kadar alkohol di arjo berkisar di 30 persen, sekitar 6 kali lebih kuat ketimbang bir.***