BAGAIMANA rasanya jika Anda disuguhkan makan ulat untuk dimakan? Jika pertama kalinya, pastinya rasanya menjijikan bukan? Tapi bagi suku Mentawai yang sudah biasa mencicipinya bakal kecanduan. Lantas jenis ulat seperti apa sih yang bisa disantap?
Toek, adalah sejenis ulat dari kayu yang sudah direndam dalam sungai selama 3 bulan. Kayu yang dipakai itu bukanlah kayu biasa, namun kayu khusus bisa menghasilkan ulat.
âBiasanya kami merendam kayu, kalau disini namanya adalah tumung, kayu ini dipotong-potong pendek sekitar setengah meter, kemudian di bagian kayu tersebut dilubangi untuk sebagai pengikat biar tidak hanyut terseret arus sungai,â ujar Nali (45) seorang ibu tangga setempat.
Kayu tumung itu atau dikenal dengan nama kayu Terentang (Campnosperma auriculatum) tumbuh sendiri di hutan-hutan. 3 bulan setelah direndam dalam sungai kemudian diangkat, lalu dibelah dengan kapak, dari dalam kayu itu akan banyak lubang-lubang kecl sebagai tempat bersarangnya ulat.
Ulatnya seperti cacing tapi warnanya putih kemerahan, kalau dimakan rasanya gurih. Biar tambah lezat, biasanya warga setempat mencampur bawang merah mentah dan cabe rawit yang sudah di iris-iris, kemudian dicampur perasan jeruk nipis dan garam.
âTidak semua warga memiliki toek ini, kadang kita beli juga kepada warga yang merendam kayu untuk dijadikan toek. Satu batang kayu yang sudah siap panen ini harganya Rp35 – 200 ribu tergantung ukuran kayu, kalau kecil harganya tentu Rp25 ribu,â tuturnya.
Bagi Anda yang tak suka makan mentah, Anda bisa coba toek ditumis. âTapi rasanya lebih enak kalau makan mentah, tentu di bersihkan dulu,â ujarnya.
Ia menambahkan kalau tradisi makan ulat kayu itu, biasanya dilakukan sore selesai pulang dari ladang, namun sekarang banyak pembelinya datang dari Ibu Kota kabupaten Mentawai di Tuapeijat ke Saureinuk, akan lebih enak mencicipinya sambil berendam di sungai.***