PENELITI Ahli Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Nuraini Rahma Hanifa mengatakan berdasarkan peta gempa 2017 yang tengah diperbarui dan diproyeksikan rampung pada akhir 2024, lokasi megathrust di Indonesia pada umumnya terletak di sisi barat Sumatera sampai selatan Jawa.
Ukuran bidang megathrust, ungkap Rahma, seukuran Pulau Jawa.
“Bidang megathrust ini seukuran Pulau Jawa. Bayangkan jika bergerak 20 meter secara serentak, goncangannya akan sangat besar,” ujarnya seperti dikutip dari keterangan dalam situs resmi BRIN, Kamis (5/9/2024).
Di selatan Pulau Jawa terdapat megathrust yang membentang sepanjang 1.000 kilometer dengan bidang kontak lebarnya 200 kilometer dan menghujam hingga kedalaman sekitar 60 kilometer. Megathrust ini terus mengakumulasi energi yang siap lepas kapan saja.
“Di bawah Pulau Jawa, terdapat lempeng samudra Indo-Australia yang menghujam ke bawah selatan Jawa, sedangkan di atasnya terdapat lempeng benua. Pertemuan antara lempeng samudra dan lempeng benua inilah yang disebut bidang megathrust,” jelas Rahma.
Lebih jauh Koordinator Kelompok Riset Geohazard Risk & Resilience ini menjelaskan dalam konsep bencana, ada hal yang bisa dan tidak bisa dikontrol, seperti pergerakan bumi dan pertumbuhan penduduk.
Dikatakannya, risiko bencana adalah fungsi bahaya dan kerentanan yang dibagi dengan kapasitas atau kemampuan adaptasi.
“Kerentanan ini berhubungan dengan eksposur atau pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko bencana dari potensi megathrust, kapasitas adaptasi penduduk harus ditingkatkan,” terangnya.
Rahma menyebutkan, jika kapasitas adaptasi penduduk tidak ditingkatkan, padahal sudah tahu akan adanya bencana dan tidak mengambil tindakan apa pun, maka kapasitas adaptasi itu rendah dan meningkatkan risiko bencana.
Dia menggarisbawahi urgensi pemahaman yang baik soal megathrust demi peningkatan kapasitas adaptasi. “Ancaman dari megathrust terbagi menjadi ancaman primer seperti gempa goncangan permukaan dan pecahnya permukaan. Kemudian ada ancaman sekunder seperti tsunami, longsor, likuifaksi, dan kebakaran,” jelasnya.
Menurutnta, megathrust dan potensi gempanya adalah nyata, tetapi hal ini jadi bagian dari fenomena alam yang harus dihadapi dengan adaptasi dan mitigasi.
“Kita bisa hidup berdampingan dengan fenomena megathrust, dan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kita memang harus hidup bersama dengan megathrust, apalagi kita berada di negara kepulauan,” ucapnya.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan potensi megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut relatif lebih tinggi dibandingkan daerah megathrust lainnya. Diketahui ada 16 zona megathrust di Indonesia.
Jadi yang relatif lebih tinggi di Selat Sunda-Banten dan Mentawai-Siberut. Sehingga bukan prediksi, tapi memonitoring, kemudian nanti yang diprediksi adalah tsunaminya, bukan gempa buminya, kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR di Kompleks DPR RI, beberapa waktu lalu. (*/rdi)