Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota adalah serangkaian kegiatan penjaringan dan pemilihan sosok yang dianggap mumpuni, jujur dan adil untuk mewakili masyarakat dalam mengelola daerahnya.
Pelantikan dan sumpah janji jabatan adalah kegiatan yang terkait dengan keprotokolan, yakni serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi tata tempat, tata upacara, dan tata penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat.
Untuk Kepala Daerah terpilih, rangkaian sumpah janji jabatan diatur melalui Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2016 Â ditegaskan, Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik.
Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh Presiden. Dalam hal Presiden berhalangan, pelantikan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan oleh Wakil Presiden. Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden berhalangan, pelantikan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan oleh Menteri, bunyi Pasal 3 ayat (1,2,3) Perpres tersebut.
Adapun Bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota dilantik oleh gubernur. Â Dalam hal gubernur berhalangan, pelantikan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota dilaksanakan oleh wakil gubernur. Dalam hal gubernur dan wakil gubernur tidak dapat melaksanakan pelantikan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota, pelantikan dilaksanakan oleh Menteri.
Dalam Islam, pelantikan dan sumpah pejabat itu dinamakan bay’at, (Pengukuhan, pengucapan komitmen dan sumpah janji).
Ibn Manzhur, pengarang Lisan al-‘Arab, memahami bay’at sebagai sebuah transaksi dan kontrak sosial yang mengikat kedua belah pihak: pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Pemimpin menuntut kepatuhan (tha’at), tetapi rakyat menuntut keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Ini berati, sumpah janji jabatan memiliki implikasi teologis dan sosiologis sekaligus. Para pejabat yang menjalani sumpah janji jabatan tentu harus tahu dan memahami implikasi dari sumpah janji jabatan itu.
Ada sebuah sejarah lama, yaitu sewaktu Abubakar Siddik dilantik sebagai khalifah,ia menyampaikan pidato kenegaraan yang sangat brilian. Dalam pidatonya, ia menegaskan dirinya bukanlah orang yang terbaik. Lantaran itu, ia meminta dukungan sekiranya ia benar, dan mengharapkan kritik dan koreksi kalau ia salah atau bertindak serong.
Selanjutnya Umar bin Khattab, pengganti Abu Bakar, dalam pengukuhannya sebagai khalifah, menyampaikan pidato yang lebih kurang sama. Antara lain, ia menegaskan komitmennya, ”Kalau kalian melihat ada penyimpangan pada diriku, maka kalian harus meluruskannya.”
Mendengar pernyataan Umar itu, seorang penggembala yang ikut hadir dalam acara pelantikan, berdiri sambil mengacungkan pedangnya seraya berkata, ”Kalau kulihat ada penyimpangan dalam diri Tuan, maka aku akan luruskannya dengan pedangku ini!”
Umar, sang khalifah, tersenyum. Ia bersyukur, karena merasa masih ada di antara rakyatnya yang memiliki iktikad baik untuk menegakkan kebenaran.
Kita dapat memetik pelajaran berharga dari teladan kedua tokoh Islam itu. Bagi keduanya, pelantikan pejabat (bay’at) bukanlah upacara tahunan atau seremonial belaka tanpa makna. Sumpah janji yang diucapkan pejabat bukan pula koor atau pernyataan yang hanya bersifat verbalistik. Sumpah janji dengan dan atas nama Tuhan itu pada hakikatnya adalah komtimen iman dan sekaligus kontrak sosial yang mengikat para pejabat untuk selalu berpihak kepada kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan rakyat.
Â