‘Tsunami’ PHK Ancam Startup Indonesia

SEJUMLAH startup sedang dilanda gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. Seperti yang dilakukan oleh dua startup ternama di Indonesia yakni Zenius dan LinkAja. Terbaru, perusahaan e-commerce JD.ID dikabarkan juga melakukan tindakan yang sama.

Tak hanya di dalam negeri, juga menghantam banyak perusahaan di Silicon Valley. Bukan cuma startup yang baru dirintis, tetapi juga perusahaan yang sudah berhasil mencapai status unicorn.

Robinhood, misalnya, memangkas sekitar 300 karyawan pada akhir April. CEO Robinhood Vlad Tenev menulis dalam sebuah blog bahwa jumlah karyawan perusahaan tumbuh dari 700 menjadi hampir 3.800 dari 2019 hingga 2021

Paling heboh adalah PHK yang terjadi di perusahaan streaming global, . Netflix diketahui telah memutus hubungan kerja sekitar 150 pegawai.

Kondisi yang Terjadi

Di tengah badai PHK, perusahaan Modal Ventura, Sequoia Capital meminta para startup untuk berhemat demi kelangsungan hidup. Ini terjadi di tengah merosotnya pasar saham dan yang suram. Permintaan itu disampaikan dalam presentasi setebal 52 halaman yang dilaporkan CNBC .

“Kami percaya ini adalah Momen Crucible. Pertama dan terpenting kita harus mengenali lingkungan yang berubah dan mengubah pola pikir untuk merespons dengan niat daripada penyesalan,” isi presentasi tersebut.

Momen Crucible adalah masa-masa sulit di mana yang bisa mengubah perubahan. Pada masa ini startup diharapkan untuk merefleksikan diri dan membuat keputusan besar demi keberlanjutan perusahaan.

Sequoia menyatakan inflasi berkelanjutan dan konflik geopolitik membuat kemampuan solusi kebijakan menjadi terbatas seperti memangkas suku bunga atau pelonggaran kuantitatif.

Mereka mengingatkan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan kondisi selama pandemi. Pada periode pandemi, anjloknya perekonomian diikuti oleh pertumbuhan pesat seiring dengan meredanya wabah -19.

Baca Juga   PSI Buka Lowongan Kerja Bergaji Rp60 Ribu Per Bulan? Begini Kronologinya!

“Kali ini banyak dari komponen itu habis. Kami tidak percaya bahwa ini akan jadi koreksi tajam lainnya diikuti pemulihan berbentuk [kurva] V yang sama cepatnya seperti yang dilihat di awal pandemi,” kata Sequoia, dikutip CNBC Internasional.

Susah Cari

Beberapa bulan ke depan, startup juga disebut bakal susah mencari investor baru. Menurut Y Combinator (YC), salah satu investor terkemuka Silicon Valley, kinerja saham perusahaan teknologi yang buruk di bursa berdampak signifikan terhadap aktivitas investasi venture capital (VC).

VC akan lebih sulit mengumpulkan uang, sedangkan pihak yang menitipkan modal di VC atau limited partner (LP) akan mengharapkan uang mereka diinvestasikan dengan lebih disiplin.

Dalam situasi seperti ini, VC juga memilih mencadangkan lebih banyak modal untuk mendukung startup berkinerja terbaik yang sahamnya sudah mereka miliki.

Hal ini menyebabkan lebih sedikit persaingan antar-investor untuk ikut serta dalam putaran pendanaan modal startup. Dampaknya, valuasi yang ditawarkan ke founder lebih rendah, pendanaan yang lebih kecil, dan kesepakatan pendanaan pun jumlahnya makin sedikit.

Perlambatan ekonomi ini terutama akan berdampak ke startup dengan skala internasional, bermodal aset fisik besar, margin keuntungan rendah, serta perusahaan lainnya yang butuh modal banyak dan waktu lebih panjang untuk mulai mencetak pendapatan.

“Bagi Anda yang telah memulai perusahaan Anda dalam 5 tahun terakhir, jangan anggap apa yang selama ini Anda alami sebagai kondisi penggalangan dana yang normal,” kata YC dalam surat mereka kepada para founder startup.

Sudah Biasa Terjadi

Bendahara Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) sekaligus Managing Partner Managing Partner Ideosource Venture Capital, Edward Ismawan Chamdani, mengaku tak kaget melihat startup mulai memilih strategi efisiensi lewat PHK karyawan.

Baca Juga   Wartawan tak Tunduk pada UU Ketenagakerjaan

Namun, menurutnya keputusan seperti ini merupakan hal yang biasa terjadi. Kejadian ini juga menjadi dampak dari keputusan bisnis yang belum tepat.

“Saya nggak bilang salah, tapi keputusan bisnis dalam arti apakah bisnis modelnya belum tepat atau target marketnya masih salah, atau ada value change yang mereka fokusnya terlalu lebar,” ujar Edward dikutip dari CNBC Indonesia. (*/roy/cic)