BAK DUA sisi mata uang, demikianlah setiap kali nama Tan Malaka disebutkan. Padahal, dia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang sempat terlupakan. Kebencian terhadap ketidakadilan dan kolonialisme membawa lulusan sekolah guru pemerintah di Belanda itu pada jalan revolusi.
Tan Malaka bernama asli Sutan Ibrahim. Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu. Nama lengkapnya Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Berasal dari keluarga bangsawan memberikan keleluasaan kepada Tan Malaka untuk bersekolah di Kweekschool (Sekolah Guru Negara) di Bukittinggi.
Sekolah ini juga dikenal dengan Sekolah Raja. Hanya anak dari keluarga penting dan priyayi yang bisa belajar di tempat ini. Putra dari HM Rasad dan Rangkayo Sinah ini memang seorang yang cerdas. Ia sangat menikmati pelajaran Bahasa Belanda. Salah satu gurunya GH Horensma melihat talenta yang dimiliki Tan Malaka, sehingga membantunya untuk kuliah di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah) di Belanda.
Buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan sebelum keberangkatan ke Belanda menjadi jendela ketertarikannya pada revolusi. Di Belanda, buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin dikhatamkan dan menjadi dasar pemikirannya ke depan. Pulang dari Belanda, Tan Malaka menjadi guru bahasa melayu bagi anak buruh perkebunan teh dan tembakau di Sanembah, Sumatera Utara. Tokoh yang lahir 2 JUni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Sumatera Barat ini melihat kehidupan rakyat Indonesia yang menderita. Tan Malaka melihat dengan mata kepalanya sendiri kaum buruh sering ditipu karena tidak pandai berhitung, diperas keringatnya, dan diberi upah rendah.
Kenyataan itu membuat darah Tan Malaka muda mendidih. Ia pun memutuskan untuk bergerak. Ia bergabung dengan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia.
Tan Malaka sudah mulai aktif menulis untuk media massa tentang penderitaan kaum pribumi. Salah satu karya awalnya adalah Tanah Orang Miskin yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis tentang penderitaan kuli kebun teh di Sumatra Post. Pada 1920-an, Tan Malaka berkelana ke Jawa. Ia mengunjungi Yogyakarta lalu pindah ke Semarang. Di Kota Lumpia, Tan Malaka yang betah menjomblo mendirikan Sekolah Rakyat. Ia mengadopsi kurikulum Uni Sovyet. Setiap pagi siswa wajib menyanyikan lagi Internasionale. Sekolah pertama itu pun menjadi percontohan untuk cabang-cabang sekolah yang lain.
Kebenciannya pada ketidakadilan dan kolonialisme memaksa Tan Malaka menjadi buronan Belanda. Hampir setengah hidupnya ia habiskan untuk bersembunyi. Ia selalu berpindah dan menggunakan nama samaran agar tidak tertangkap. Tan Malaka sempat tinggal di Tiongkok selama menjabat sebagai Wakil Komintern untuk Asia Tenggara.
Di sana ia menulis buku Naar de Republiek Indonesia yang berisi konsep negara Indonesia dalam bayangannya. Ia meramalkan situasi politik internasional antara Jepang dan Amerika yang menyebabkan perang di Pasifik. Situasi yang pas untuk melakukan revolusi terhadap Belanda. Ramalan itu terbukti setelah 16 tahun dari buku Naar de Republiek Indonesia dicetak. Perang pasifik yang membuat gejolak perang dunia II terjadi.
Tan Malaka juga menulis buku Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog). Buku ini berisi analisisnya terhadap rakyat Indonesia yang tidak terbiasa berpikir kritis, tidak logis, serta belum mampu berdialog secara baik.
Setelah melihat dari jauh kondisi Indonesia, Tan Malaka memutuskan pulang ke Tanah Air pada 1942. Ia tinggal di Rawa Jati, dekat pabrik sepatu di Kalibata dan menjadi pedagang buah. Tan lalu pergi ke Bayah, Banten, menjadi juru tulis dan pengurus administrasi romusa dengan nama samaran Ilyas Husein. Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta.
Namun, Tan Malaka melihat kemerdekaan yang diraih belum seutuhnya. Ia pun kemudian membongkar penyamarannya dan menemui teman lamanya, Ahmad Soebardjo. Kedatangan Tan membuat Soebadjo kaget bukan kepalang. “Aku kira kau sudah mati,” katanya. Pada September 1945 atau sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, Sekutu mulai mendarat di Jakarta untuk melucuti tentara Jepang.
Tan Malaka kemudian menggelar rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang Monas) sebagai pesan kepada Sekutu atas kekuatan rakyat Indonesia. Tak kurang dari 200.000 orang berkumpul memenuhi lapangan. Popularitas yang tinggi, gagasan besar, serta jiwa revolusioner membuat rekan-rekan Tan mengusulkan agar ia dimasukkan ke dalam Pemerintahan.
Namun tawaran itu ditolaknya. “Di waktu sekarang Saudara berdua, Soekarno-Hatta, sudah tepat itu. Biarlah saya menyokong dari belakang dengan mengerahkan rakyat di belakang Saudara,” kata Tan Malaka saat bertemu Bung Karno dan Bung Hatta. Kedatangan Belanda yang membonceng Sekutu ditanggapi beragam oleh masyarakat dan elit politik Indonesia. Soekarno, Hatta, dan Sjahrir lebih memilih jalan diplomasi. Hal inilah yang membuat Tan Malaka berang. Termasuk Jenderal Besar Soedirman. Keduanya gemas dengan Kabinet Sjahrir yang mendapat mandat dari Bung Karno dan Hatta yang ditangkap Belanda,tidak lantang mengatakan bahwa Indonesia sudah merdeka dan tidak perlu berunding lagi.
Pendukung Tan Malaka yang kecewa pada pemerintahan Sjahrir, bergabung membentuk kelompok Persatuan Perjuangan pada 4 Januari 1946. Kelompok ini kemudian mengadakan kongres pertama yang dihadiri 132 organisasi sipil, partai, laskar, dan ketentaraan di Gedung Serba Guna Purwokerto. Pembicara utamanya, Tan Malaka dan Jenderal Soedirman. Dari situ kemudian lahirlah ide kudeta. Kelompok oposisi kemudian melakukan kudeta terhadap pemerintahan Sjahrir karena dianggap gagal mewujudkan pengakuan kedaulatan Indonesia 100 persen. Upaya kudeta gagal.
Pada 23 Maret 1946, Tan Malaka, Soebardjo, dan Soekarni dijebloskan ke penjara selama 2 tahun. Setelah Tan dibebaskan dari penjara Magelang, ia mencoba mengumpulkan pendukung dan menggagas partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) pada 7 November 1948. Sukarni didaulat menjadi ketua partai yang memiliki landasan antifasisme, antiimperialisme, dan antikapitalisme.
Tan sendiri berangkat ke Kediri, memulai pergerakan gerilya. Ia menemui prajurit TNI dan pimpinan politik. Aktivitas itu dinilai membahayakan, sehingga pemerintah Indonesia mencari dan mengejarnya. Tan Malakan melarikan diri ke selatan Jawa Timur. Saat menyusuri Gunung Wilis di Selopanggung, Kediri, ia ditangkap Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.Pada 21 Februari 1949,
Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek. Dia dimakamkan di Selopanggung, Kediri. Meski Soekarno mengangkatnya menjadi pahlawan nasional pada 28 Maret 1963, saat Orde Baru muncul, Tan Malaka seperti sengaja dihilangkan dari sejarah. Namanya dicoret dari daftar nama pahlawan nasional. Bahkan tidak pernah dibahas dalam buku pelajaran sekolah. ***
* Diolah dari berbagai sumber