Organisasi dan Masyarakat Minang di Perantauan

Oleh : H Tasril Jamal SE MM
Kota Tangerang dan Tokoh Masyarakat di Tangerang

KARATAU MADANG DI HULU, BABUAH BAGUNA BALUN. KA RANTAU BUJANG DAHULU, DI KAMPUANG PAGUNO BALUN.

KOK SANAK PAI KA LAPAU, HIU CARI BALANAK CARI, IKAN PANJANG CARI DAHULU. JIKOK SZAZNAK PAI KA RANTAU, IBU CARI DUNSANAK CARI, INDUAK SAMANG CARI DAHULU.

Untaian kalimat di atas, adalah sebuah cara bagaimana seorang anak Minang dibentuk karakternya. Bukan di kampung, justru di tanah rantau. Inilah ajang pembuktian mampu tidaknya seorang anak Minang mengatasi sulit dan ketatnya persaingan di negeri orang.

Namun anak Minang bukanlah mereka yang pergi tanpa bekal, meski tak banyak, namun bekal keluhuran budi pekerti serta ilmu agama menjadi dasar sebelum seorang anak atau kemenakan diberi kesempatan menjejak di tanah rantau. Kalaupun ada modal berupa finansial yang menyertai, itu pun sifatnya One Way Ticket atau tiket pergi saja tanpa embel-embel lainnya.

Dengan keluhuran budi dan bekal agama serta dipadukan dengan pepatah “Di Mano Bumi Dipijak, Di Situ Langik Dijunjuang” maka anak Minang senantiasa mampu melewati segala halang dan rintang untuk menderma bhaktikan dirinya untuk Mambangkik Batang Tarandam yang jauh di kampung.

Namun anak Minang yang kerap disebut anak dagang bisa membuktikan kemampuannya, selain bisa bertahan dan malah bisa pula menjadi induk semang, budaya dan tradisi kampung halaman tak pernah lepas dari kehidupannya.

Tradisi ka lapau, ba domino, ba koa dan minum tetap menjadi kesehariannya sebelum atau sesudah menjalankan aktivitas menyambung hidup di tanah orang.

Inilah yang menjadi ikhwal lahirnya komunitas komunitas perantauan anak Minang, baik itu komunitas suku, nagari dan daerah. Selama ini, komunitas itu sebagaimana tipikal masyarakat Minang yang egaliter, bisa tumbuh subur tanpa ada aturan main yang rumit dan berbelit serta tak pernah digembar-gemborkan melalui pemberitaan.

Baca Juga   Analisis Geografis, Sosiologis & Antropologis Linguistik, Tempatkan Kaur Bengkulu Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya?

Sebab, sebagaimana pepatah “lain padang lain ilalang, lain lubuk lain iklannya”. Maka aturan main yang ada di setiap organisasi tersebut tidaklah sama dan harus disamakan.

Menaungi komunitas urang kampuang di tanah rantau tentu tak sama dengan menghadirkan sebuah yang selalu tersandera dengan visi misi dan juga keinginan dari pemimpin partai.

Di sinilah hebatnya organisasi Minang, mereka bisa bergerak bebas dengan beragam aktivitas dan kegiatan tanpa harus tunduk pada aturan main yang tentu saja sifatnya mengekang.

Tanpa adanya embel-embel Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC), organisasi Minang tetap solid. Sebutlah misalnya IKM Depok, IKM Jakarta Rakay, IKM Bekasi, IKM Bogor, IKM Tangerang dan lain sebagaianya.

Organisasi yang sebagian besar aktivitasnya berada di wilayah sosial kemasyarakatan dan keagamaan, lambat laun membesar dan menjadi panutan bagi masyarakat lainnya untuk melakukan hal serupa.

Namun suasana nyaman tersebut sontak berubah dengan kehadiran Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Wilayah, Dewan Pimpinan Daerah dan Dewan Pimpinan Cabang yang jelas menguatamakan keseragaman.

Akibatnya dapat ditebak, sebagaimana partai politik, jika tak sehaluan jangan harap bisa sehilir semudik dalam sebuah kapal. Akibatnya pun dapat ditebak, Ikatan Keluarga Minang (IKM) yang awalnya aman damai tiba-tiba beriak.

Keberadaan DPP IKM, DPW IKM, dan DPC IKM yang awalnya bisa menjadi sebuah panggung kekuatan Rang Minang, justru terkoyak dengan arogansi dan keegoisan. Tak hanya itu, warna IKM yang awalnya adalah sosial kemasyarakatan pun mulai tergerus dengan aroma politik.

IKM yang awalnya hanya dikenal sebagai akronim dari Ikatan Keluarga Minang melahirkan sebuah hal yang berbeda, karena ternyata IKM tak hanya dalam bentuk Ikatan Keluarga Minang semata, namun juga akronim dari Induk Keluarga Minang.

Baca Juga   Mendirikan Partai Politik Tak Cukup dengan Nama Besar

Kedua kapal besar yang sama-sama dipimpin orang besar tersebut justru membuat bingung warga Minang yang jumlahnya puluhan juta di tanah rantau itu. Jika Induk Keluarga Minang dipimpin Komjen Pol Boy Rafli Amar yang saat ini menjabat sebagai Kepala BNPT, maka Ikatan Keluarga Minang berada di bawah kendali , tokoh vokal dari .

Kerancuan ini, jelas bukan sebuah hal yang diharapkan. Namun, begitulah adanya. Selain adanya dua IKM dengan kepanjangan dan pengurus yang berbeda, pun hadir Forum Keluarga Minang Bersatu () juga dengan kepengurusan DPP, DPW, DPD dan DPC-nya.

Jika Urang Awak hadir dalam sebuah bendera, tentu kekuatannya akan sangat ditakuti. Namun dengan hadir melalui sejumlah wadah, tentu akan timbul pertanyaan, masihkah Rang Minang bersatu?

Jika pepatah Minang menyebutkan,“Kalau Sasek di Ujuang Jalan, Mangko Pulanglah ka Pangka”. Artinya kalau ada kekeliruan atau silang sengketa, tentunya dengan duduk bersama akan lahir sebuah kebersamaan dan merekatkan kembali persaudaraan.

Perbedaan tak harus disemai dan dibesarkan, justru sebaliknya, Anak Minang harus menunjukkan kematangan dirinya sebagai anak bangsa yang hebat, cerdas dan brilian tanpa adanya faksi yang mengarah pada dualisme, tigalisme atau isme lain sebagainya.

Namun saat ini, keberadaan DPP, DPW, DPD dan DPC organisasi kemasyarakatan Rang Minang tersebut bagaikan jauh panggang dari api. Selain hanya saling membenarkan ego , juga tak jauh dari road show yang tujuannya jelas menunjukkan keberadaan kita.

Ini salah, karena Orang Minang tak diajarkan menepuk dada. Karena kalau itu dilakukan sama saja dengan menepuk di dulang, dada sendiri juga yang akan basah.

Kalau hanya sumbang menyumbang untuk bencana alam atau kumpul berkumpul yang dilakukan, jauh sebelum DPP, DPW, DPD dan DPC ada, organisasi Minang telah melakukannya. Kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahambauan adalah bukti bagaimana solidnya organisasi kekerabatan masyarakat Minang di perantauan.

Baca Juga   Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Mahasiswa Hukum Surati Jokowi

Adu AD/ART, adu visi dan misi serta bendera organisasi, bukanlah cara masyarakat Minang berekspresi. Nah, sebelum keruh semakin menghitam sebaiknya semua organisasi Minang melalui para pembesarnya introspeksi diri.

Masyarakat Minang adalah komunitas yang menjunjung tinggi kebersamaan, kekerabatan dan persaudaraan. Nah, tunggu apa lagi mari sesama anak Minang di perantauan saling bergandengan tangan membangun kampung halaman, mambangkik batang tarandam dengan menjauhkan diri dari keegoisan. ***