Oleh : Dr. Ujang Komarudin, M.Si
Staff Khusus Ketua DPR RI, Dosen Tetap dan Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia serta Direktur Eksekutif Indonesia Political Review
BUDAYA blusukan yang awalnya diperkanlkan oleh Presiden Joko Widodo saat meniti karir sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Indonesia beberapa waktu lalu, ternyata menjadi barometer yang ampuh mendekatkan dirinya dengan masyarakat banyak yang tentunya diharapkan menjadi pendukung utamanya saat kontestasi pemilihan kepala daerah.
Budaya blusukan selain ingin mengetahui “derita” masyarakat, pun diyakini jadi cara yang efektif untuk dekat ke publik. Dan jangan lupakan, blusukan menjadi senjata yang tepat untuk viral di media sosial dan bahan utama pemberitaan di mass media. Ya, tak dapat dipungkiri, media darling adalah out put dari budaya blusukan tersebut.
Nah, apakah setelah Joko Widodo menjadi orang nomor satu di Indonesia, budaya tersebut terpinggirkan atau hilang? Kalau itu yang ditanyakan, jawabannya jelas tidak. Bahkan, saat ini blusukan menjadi standar utama untuk dekat ke masyarakat dan blusukan pun menjadi cara efektif oleh lembaga survey untuk mengetahui elektabilitas seseorang di panggung politik.
Puasa, Mudik dan Lebaran pun menjadi arena yang tepat untuk menunjukkan simpati dan atensi para calon pemimpin negeri kepada masyarakat. Awalnya “mereka” berlomba-lomba menghadirkan minyak goreng yang ajaibnya bisa raib di negeri penghasil CPO terbesar di dunia ini. Namun di tangan pihak tertentu bisa ditemukan dengan mufahnya.
Lantas blusukan ke pasar mengecek harga barang menjadi kompetisi lanjutan, pantauan arus mudik dengan hadir di pelabuhan, bandar udara dan terminal pun tak ketinggalan dilakukan. Nah, kala Lebaran datang, cara ini pun dilakukan dengan sangat apik oleh para calon pembesar negeri atau sebutlah calon presiden yang namanya masuk dalam jajaran nama-nama yang disurvey.
Prabowo Subianto sebagai ketua umum Partai Gerindra berlebaran ke sejumlah tokoh dan pondok pesantren, Erick Tohir menyapa masyarakat di jalur mudik, Anies Baswedan dengan cara yang lebih bijak dengan menghadirkan Jakarta International Stadium sebagai panggung besar untukl pelaksanaan Salat Idul Fitri 1433 H.
Panggung lain yang dimanfaatkan adalah kehadiran ratusan bahkan baliho ucapan selamat Lebaran yang bertebaran nyaris di setiap pertigaan. Sayangnya ucapan kesedihan tak pernah mereka hadirkan kala masyarakat susah untuk mendapatkan minyak goreng beberapa waktu lalu.
Meskipun tak ada yang mengaku terus terang sedang mencari simpati, namun siapapun orangnya, pasti tak membantah kalau Lebaran adalah salah satu momentum silaturahmi yang bisa digunakan dan dimanfaatkan oleh para Capres dan Cawapres tuk mendekati rakyat. Ini jelas sebuah pola blusukan dengan cara yang lebih halus.
Apakah itu salah? Jelas tidak, itu hal wajar dan biasa dalam politik. Mendekati rakyat di momentum Lebaran adalah hal yang biasa. Tujuannya tentu bukan hanya untuk saling bersilaturahmi, tetapi juga agar dapat SIMPATI rakyat.
Dengan adanya simpati tersebut, tentu para calon pembesar negeri dan tim relawannya berharap akan mengatrol elektabilitas yang bersangkutan. ***