Oleh : Miko Kamal
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
SECARA pribadi, saya tidak kenal dengan Ade Armando. Secara personal. Saya tahu orang ini di media sosial saja. Dia aktif sekali di dunia maya, terutama facebook. Postingannya banyak. Seperti orang yang kelebihan energi dia.
Saya juga tidak tahu dia orang Minang. Sama dengan saya. Biar sajalah. Mau orang Minang atau tidak, yang penting orang ini memang agak hebat. Berani di media sosial. Mungkin terberani se-Indonesia. Bisa jadi hanya Denny Siregar yang bisa menandingi keberaniannya. Sebelas dua belaslah orang berdua ini nampaknya.
–00–
Dari latar pendidikan tingginya, orang ini memang cukup keren. Gelar sarjananya dikeluarkan universitas nomor 1 di Indonesia, Universitas Indonesia (UI). Selesai S 1 dia terbang ke Amerika. Florida State University menganugerahinya gelar master. Mungkin karena tidak kuat melanjutkan pendidikan tertinggi di negeri Paman Sam, Ade balik ke Indonesia untuk menyelesaikan studi doktoralnya di UI.
Saya paham dan merasakan sendiri, menyelesaikan S3 di universitas luar negeri memang berat. Hanya yang kuat saja yang bisa melakukannya. Ade mungkin tidak kuat. Ya, tidak apa-apa. Ukuran tempurung kepala seseorang memang tidak perlu dipaksa-paksa untuk membesar-besarkannya. Mungkin dia sadar, seharusnya bertanak memang sehabis beras saja.
Meskipun tidak sampai menuntaskan pendidikan tertingginya di luar negeri, Ade tetap keren di dalam negeri. Buktinya, beberapa penghargaan diraihnya.
Tahun 2005, Ade ditunjuk sebagai wakil Indonesia dalam International Visitor Leadership Program yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Tiga tahun setelah itu, Ade juga dipilih oleh Partai Keadilan Sejahtera sebagai salah satu dari 106 Pemimpin Muda Indonesia. Itu yang dicatat situs Wikipedia. Yang tidak tercatat mungkin lebih banyak lagi.
–00–
Tapi, terus terang, saya geli melihat cara dia menyalurkan energinya yang berlebih. Ade seperti merendahkan anugerah kehebatan yang diberikan Allah kepadanya. Seorang pemegang gelar akademik tertinggi yang dikeluarkan perguruan tinggi nomor wahid di Indonesia hanya bermain di kolam kecil postingan-postingan pendek di media sosial saja. Sekadar menjadi tukang dengung.
Apalagi postingan-postingannya itu banyak yang menyerempet-nyerempet isu sensitif. Terutama yang berhubungan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Postingan-postingan pendeknya acap kali menyinggung banyak orang. Seringkali berujung di kantor polisi. Meskipun laporan-laporan polisi atas dirinya itu selalu akhirnya terbang tertiup angin. Nampaknya itulah kehebatan Ade yang sebenarnya.
Postingan Ade yang menyinggung banyak orang itu dicatat merdeka.com. Ade pernah mengunggah wajah Anies Baswedan berwajah joker di akun facebooknya.
Ade juga pernah menyebut Allah bukan orang Arab. Pada postingan yang lain, Ade menyebut Allah tidak mengharamkan LGBT. Pada masa kontestasi Pilkada Jakarta, Ade juga pernah menulis di akunnya tentang orang pintar pilih Ahok dan orang bodoh pilih Anies. Soal panggilan salat, Ade juga memosting tentang azan yang tidak suci.
Baru-baru ini, dia juga membuat postingan yang cukup menghebohkan. Intinya, dia menyebut orang Minang (baca juga Sumatera Barat) sekarang sebagai orang yang terbelakang; lebih kadrun dari kadrun.
Pernyataan itu ditegaskannya dalam sebuah video yang diunggahnya di kanal youtube pada tanggal 8 Juni 2020. Judulnya ‘Dicoret dari Suku Minang Akibat Injil Berbahasa Minang’.
Saya bersyukur Ade membuat video itu dan saya bisa menontonnya. Dari awal sampai akhir. Berulang-ulang. Kalau saya tidak menontonnya, saya hanya dapat menduga-duga saja arah pemikiran dan politiknya. Seperti selama ini.
–00–
Dosen ilmu komunikasi FISIP UI itu menghakimi orang Minang sebagai orang yang terbelakang. Menurut dia, keterbelakangan orang Minang disebabkan oleh kesalahan cara orang Minang beragama.
‘Cara beragama Islam di tanah minang saat ini, itu mengabaikan akal sehat‘, begitu simpulan Ade pada bagian akhir videonya.
Di dalam video berdurasi 14 menit dan 39 detik itu, Ade juga menyebut-nyebut tiga hal: pro-syariah, mujahidin dan 212. Itu disebutnya ketika menjelaskan latar belakang Irfianda Abidin yang ‘membuangnya sepanjang adat’.
Ketiga hal yang disebutnya itu semakin menegaskan cara pandang dan posisi berdirinya dalam memandang orang Minang secara umum. Seolah-seolah orang Minang yang menyuarakan hal-hal yang berbau Islam (pro-syariah, mujahiddin dan 212) adalah keliru. Padahal, kalau dia berakal sehat dan tidak terbelakang, menyuarakan nilai-nilai Islam adalah bagian dari praktik kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
–00–
Ade, masih dalam video, memang tidak main pukul rata terkait pernyataannya tentang keterbelakangan orang Minang. Makanya dia menyebut beberapa nama orang Minang yang menurutnya masih berpikiran progresif yang terbuka.
Dari nama-nama yang disebutkannya, sebagian besarnya adalah orang-orang Minang yang pemikiran, arah politik dan posisi berdiri yang persis sama dengan dirinya.
Dengan begitu, untuk memahami atau menangkap poin penting pola pikir dan perilaku Ade selama ini, sebetulnya, tidak rumit-rumit amat. Ade berani menghukum orang Minang sebagai suku bangsa yang terbelakang dan/atau suku bangsa yang mengabaikan akal sehat dalam beragama disebabkan pemikiran orang Minang pada umumnya tidak seragam dengan lingkar tempurung kepala yang dimilikinya.
Dengan kata lain, boleh juga lebih disederhanakan bahwa menurut Ade, orang atau suku bangsa yang maju adalah mereka yang isi kepalanya serupa dengan yang dipunyainya. Di luar itu, terbelakang. Apalagi orang atau suku bangsa yang punya preferensi politik yang tidak sama dengannya. Begitu benarlah tidak sehat akalnya.
Inilah ke(geli)an saya yang kedua; Ade menuding orang Minang terbelakang dan tidak berakal sehat dalam beragama karena hanya tempat berdirinya tidak sama dengan dirinya dan kawan-kawan sekufunya.
Padahal, menurut paham sebagian besar orang Minang, justru orang yang tidak berakal sehat adalah orang yang mau merendah-rendahkan dirinya kepada pemegang kekuasaan dunia hanya sekadar untuk mendapatkan bagian.
–00–
Ade mungkin lupa dengan fakta orang Minang sebagai suku bangsa yang keras hati. Atau bisa jadi tidak tahu. Bagi orang Minang, mengekspresikan ketidaksukaan secara terbuka tas ketidakberesan yang dilihatnya adalah hal biasa. PRRI cukuplah sebagai salah satu bukti betapa kerasnya hati orang Minang.
Presiden Soekarno yang pada waktu itu dilihatnya sudah mulai melenceng diingatkan secara terbuka. Tanpa rasa takut. Padahal kala itu, sang Presiden sedang kuat-kuatnya. Perang saudara pun pecah.
Bagi orang Minang yang sebenar Minang, berbeda pendapat adalah hal biasa saja. Apalagi hanya sekadar berbeda pilihan politik.
Orang Minang sudah terlatih berbeda pendapat sejak di lapau-lapau kampung. Dari pagi bisa sampai petang.
Setajam apapun beda pendapatnya, orang Minang tetap menjaga kepala mereka tetap dingin. Hanya ada dua yang tidak boleh ditudingkan kepada lawan yang pendapatnya berbeda. Yaitu menyatakannya kafir dan tak beradat. Selain dari itu silakan saja.
Ini mungkin implementasi sosial dari terminologi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Sejahat-jahatnya orang Minang, dia pasti marah tak alang kepalang bila dirinya disebut tak beragama (Islam) dan tak beradat. Salat dan puasa boleh bolong-bolong, tapi ghirah sosial mereka akan memuncak bila agama mereka disingggung-singgung.
Bagi orang Minang yang disebut agama itu adalah Islam. Tidak ada opsi lain. Makanya, sikap Gubernur Irwan Prayitno menyuarakan kegelisahan warganya atas beredarnya aplikasi Injil berbahasa Minang di playstore dapat dipahami.
Tapi jangan salah paham. Itu bukan berarti orang Minang tidak menerima kehadiran pemeluk agama lain di kampung mereka. Sependek pengetahuan saya, orang Minang tidak pernah membuat orang lain yang berbeda keimanan tidak nyaman berada di ranah Minang. Pasalnya, bagi orang Minang, pesan Kitabullah ‘Bagimu Agamamu Bagiku Agamaku’, adalah puncak tertinggi dari toleransi beragama.
–00–
Ade mungkin tidak mengerti sepenuhnya apa yang saya sampaikan. Bisa jadi karena antenanya rendah. Bisa jadi juga karena sebab yang lain.
Seperti yang disampaikannya di video, dia mengaku sebagai orang Minang yang tidak lahir dan tidak pernah tinggal di ranah Minang. Bahkan baru 3 kali datang ke Sumatera Barat untuk urusan kerja.
Makanya, yang menjadi ke(geli)an saya yang ketiga adalah ketika ada orang yang tidak paham sama sekali sosio-kultural orang Minang lalu seenaknya menghukum orang Minang sebagai suku bangsa yang terbelakang secara politik, ekonomi, intelektual dan bahkan disebutnya seperti katak dalam tempurung.
Berdasarkan tiga geli itu, lalu, siapa sebenarnya yang tidak berakal sehat, terbelakang dan seperti katak dalam tempurung?. ***