Catatan Yurnaldi, Pimpinan Redaksi Buliran.com
SEBANYAK 23 Kaba Minangkabau yang selama ini terbit dalam bahasa Minangkabau, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penerbitan bukunya dalam dua bahasa. Sebuah kerja keras dan program Balai Bahasa Sumatera Barat yang mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan.
“Penerjemahan ini merupakan program prioritas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Harapannya agar cerita rakyat yang merupakan salah satu media untuk pendidikan karakter anak didik, bisa memperkaya bahan bacaan literasi siswa,” kata Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat, Aminulatif, S.E., M. Pd. seusai acara Talkshow di Radio Arbes FM 101, Jalan Ratulangi Padang.
Kaba Minangkabau yang diterjemahkan itu antara lain “Si Sabarlah” ditulis Hamka, diterjemahkan Yollanda, “Cindua Mato” ditulis Syamsuddin St. Radio Endah, diterjemahkan Yulia Fitrina, “Untung Sudah” ditulis Sutan Pangaduan, diterjemahkan Joni Syahputra, “Sabai Nan Aluih” Ditulis M. Rasyid Manggis, diterjemahkan Mulyadi, “Si Umbuik Mudo” ditulis Iljas Payakumbuh, diterjemahkan Fitia Dewi dan “Siti Risani”, diterjemahkan Yulia Fitrina.
Menurut Aminulatif, buku terjemahan Kaba Minangkabau ini ditujukan sebagai bahan pengayaan literasi bagi anak didik tingkat SLTP dan SLTA. ” Diharapkan anak didik khususnya dan masyarakat umumnya, dapat ilmu yang lebih tentang bahasa sumber.
Penerjemahan dilakukan penulis dan peneliti dari Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat dengan konsultan dari tokoh adat, penulis, sastrawan, serta budayawan Sumatera Barat, yakni Gus tf Sakai, Iyut Fitra , Musra Dahrizal , Pinto Anugrah, Rommi Romi Zarman, S Metron Masdison , Sondri Bs , Syuhendri, dan Yusrizal KW , dan Baharuddin Andoeska.
Gus tf Sakai, sastrawan di tim konsultan penerjemahan mengatakan, selama ini upaya penerjemahan Kaba ke dalam Bahasa Indonesia sudah pernah dilakukan setidaknya pada dua massa, yakni tahun 1880-an dan tahun 1920-an. Penerjemahan saat itu karena populernya cerita berbentuk hikayat yang sesuai sifatnya membutuhkan cerita cerita anonim.
Sementara penerjemahan tahun 1920-an dilakukan untuk kebutuhan pertunjukkan tonil, nama lain sandiwara, pada zaman penjajahan Belanda.
“Bila dicermati, penerjemahan kaba dalam bentuk hikayat maupun untuk kebutuhan naskah dalam pementasan tonil, tidak bisa disebut sebagai penerjemahan kaba ke dalam bahasa Indonesia,” Gus tf menegaskan.
Sebab, lanjut Gus, upaya penerjemahan dimaksud ketika itu, telah menghilangkan karakter atau substansi kaba yang sangat kental dengan prosa berirama. Dalam prosa berirama, hal yang paling menentukan, tak lain tak bukan, adalah hadirnya unsur-unsur bunyi yang bisa didendangkan.
Menurut sastrawan peraih SEA Write Award ini, hadirnya dendang –atau lebih tepat disebut keterdendangan, setidaknya ditentukan oleh sejumlah hal. Pertama, adanya pantun. Kedua, adanya talibun (pantun berkait, baik enam seuntai atau delapan seuntai atau bahkan 10 seuntai), dan ketiga, adanya pola penulisan tertentu berupa pengulangan gatra yang paling tidak terdiri dari delapan suku kata. Sehingga pada saat membacakan kaba, irama bisa muncul seperti halnya metrum atau ketukan dalam musik.
Andai upaya penerjemahan dan penerbitan Kaba tidak dilakukan sekarang oleh Balai Bahasa Sumatera Barat, kita waswas. Apakah pada masa kemudian masih akan ada pihak yang peduli, mengingat zaman serba digital sudah menganga di depan mata.
“Untuk itu, terima kasih harus kami ucapkan kepada Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat yang telah berinisiatif melakukan program penerjemahan 23 judul kaba Minangkabau ke dalam bahasa Indonesia,” kata Gus tf Sakai.***