TAK ADA yang tak kenal KH Ahmad Cholil Ridwan Lc di persada Indonesia ini, seorang ulama kharismatik yang sangat menyejukkan. Meski tak suka gembar-gembor dan hiruk pikuk politik, namun fatwa nan nasehatnya selalu ditunggu banyak pihak. Tidak saja oleh mereka yang sejalan dan sealiran, namun juga oleh mereka yang dianggap berseberangan dengannya.
Tak dipungkiri, Pak Kyai, demikian pria kelahiran Jakarta pada 7 Mei 1947 biasa disapa, memang salah seorang pemuka agama terkemuka. Meskipun bersuku Betawi, namun dia adalah seorang penganut Masyumi tulen.
Cholil Ridwan adalah kader langsung dari M Natsir seorang tokoh pergerakan dan tokoh nasional pencetus NKRI asal Ranahminang. Bahkan, Pak Kyai pun tercatat sebagai murid setia dari seorang Buya Hamka. Cholil selalu hadir di setiap pengajian atau pengajian serta khotbah dari Sang Buya.
Jadi bisa dikatakan, meski di tubuhnya mengalir deras darah Betawi, namun darah idiologisnya justru datang dari ranah seberang yaitu Minangkabau. Sehingga seorang Cholil Ridwan memiliki tingkat pemahaman akan politik yang sangat mumpuni, begitupun dengan kedalaman ilmu agamanya, sehingga pantas dipanggil Kyai.
Pendidikan formalnya di tingkat dasar dijalaninya di pesantren paling terkenal di Indonesia yaitu Pondok modern Darussalam Gontor. Dari Bumi Jawa Timur, anak Betawi ini kemudian terbang jauh ke Universitas Islam Madinah di Arab Saudi untuk melanjutkan pendidikan agamanya.
Selama menempuh pendidikan keagamaan secara formal, Cholil Ridwan sudah sangat akrab dengan berbagai organisasi. Tercatat ketika masih berstatus santri di Darussalam Gontor, Ridwan bertindak selaku Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) selama 3 tahun (1967 – 1970). Dan ketika kembali ‘nyantri’ di salah satu kota suci umat Islam tersebut, Cholil Ridwan juga tercatat pernah menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Saudi Arabia.
Usai menamatkan pendidikan keagamaan secara formal, Ridwan kembali ke tanah airnya dan memulai karir di bidang religi dengan menjadi pimpinan umum atau pengasuh Pondok Pesantren Husnayain mulai tahun 1986.
Pengalaman keorganisasiannya, pengetahuan keagamaan disertai ketekunan dan ketulusan dalam membaktikan diri pada masyarakat, semua hal itu diaplikasikannya dalam membesarkan Ponpes Husnayain.
Tidak terbatas hanya para santri, masyarakat luas juga mengakui kemampuan Ridwan menata dan mengelola pondok pesantren. Tidak heran, jabatan Ketua Umum Badan Kerjasama Pondok Pesantren Seluruh Indonesia (BKsPPI) diamanahkan kepadanya selama 10 tahun (1990 – 2000).
Usai mengampu amanah yang diberikan tersebut, nama Cholil Ridwan semakin dikenal luas dan semakin dipercaya memegang berbagai jabatan puncak di bidang keagamaan. Tercatat Ridwan adalah Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), jabatan yang diampunya dengan baik selama 2005 hingga 2010.
Puncak kepercayaan ummat terhadap Cholil Ridwan dinyatakan dengan amanah tertinggi di bidang organisasi keagamaan dengan dipilihnya pria yang juga dikenal sering berceramah ke luar negeri ini sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Saat ini, Cholil Ridwan juga bertindak selaku Ketua Pembina Yayasan kesejahteraan Pemuda Pelajar Islam Indonesia (KB PII) periode 2011 – 2014. Sebelumnya pernah aktif menjadi wakil ketua umum KB PII di periode Ryas Rasjid.
Sebagai pemimpin ummat, Cholil Ridwan mampu berada di posisi yang tepat. Selain fatwanya ditunggu oleh ummat Islam demi kemajuan agama tersebut, nasehatnya pun ditunggu para pengambil kebijakan di republik ini untuk membawa Indonesia ke posisi yang lebih baik.
Terkait umat Islam sekarang ini, Cholil Ridwan melihat ummat dihadapkan pada tantangan pada tantangan yang tidak ringan. Untuk itu, Kyai Cholil menyerukan semuanya untuk merapatkan barisan dan bersatu.
Terpenting kata dia, semua kelompok ummat Islam harus rujuk. Kongkritnya, bisa dimulai dengan kembalinya umat Islam ke masjid, tidak hanya ritual ibadah yang bersifat ubudiah, tapi juga bermuamalah untuk segala sektor kehidupan, baik ekonomi, politik, pendidikan, seni maupun budaya.
Kekalahan umat Islam selama ini, menurutnya dikarenakan, tidak bersatu dan menjauh dari masjid. Kuncinya adalah satu imamah dalam satu jamaah. Untuk itu diperlukan majelis syuro yang memayungi semua partai Islam dan kelompok Islam.
âSangat disayangkan, sudah jelas kalah, tapi tidak mau bersatu. Terpenting, harus ada payungnya dari tokoh-tokoh yang punya pengaruhi secara nasional,â ujarnya.
Kegagalan sejarah dengan dicabutnya tujuh kata Piagam Jakarta, adalah karena kegagalan siasah politik ummat Islam. Kekalahan itu tidak boleh diulangi. Dulu umat Islam bersatu untuk membuat rumusan UUD, lalu kalah.
“Ke depan, umat Islam harus menjadi pemenang,â katanya membakar semangat.
Melalui Ponpes Husnayain, Kyai Cholil Ridwan berharap bisa membenahi mental bangsa, memberikan sumbangsih bagi kebaikan Indonesia ke depan yang bisa melahirkan calon pemimpin ummat sekaligus memimpin bangsa yang majemuk dalam bingkai kesatuan NKRI.
Baginya, peran yang kecil adalah jauh lebih berarti ketimbang tak melakukan apa-apa. Apalagi kalau hanya bisa berteriak mencari kesalahan pihak lain yang dianggap berseberangan.
“Islam tak mengajarkan semua itu, Islam adalah rahmatan lil alamin yang berpedoman kepada Al Quran dan Sunnah. Jadi juga harus menjadi rahmat bagi republik ini,” tuturnya menutup pembicaraan. ***