JODOH, REZKI dan MAUT, tak seorang pun yang tahu. Ketiga hal itu adalah rahasia Ilahi dan hanya Sang Khalik lah yang maha amengetahuinya. Sehingga kerap kali saat kita sebagai makhluk telah merencanakannya, justru rencana Allah lah yang maha pasti dan sempurna.
Hal itu cocok jika dikaitkan dengan seorang M Hasbullah Rahmad, terlahir dari keluarga biasa-biasa saja, nun jauh di tengah Sumatera tepatnya di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, siapa sangka dia mendapat jodoh di Kota Depok dan malah lebih dikenal sebagai seorang politisi handal dari Kota Belimbing yang berasal dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Tak saja berkiprah di Kota Depok yang sempat dua kali menjadi wakil rakyat di Kota Kembang, Hasbullah juga melebarkan sayapnya hingga ke gedung parlemen di DPRD Jawa Barat.
Hasbullah bagaikan sebuah antitesis dari harapan seorang anak kampung yang awalnya berkeinginan besar menjadi seorang tentara. Dengan postur atletis, rasanya tak ada yang akan bisa menghalanginya untuk menjadi penjaga keamanan republik ini.
Namun nasib berkata lain, justru sinar terang dari partai berlogo matahari terbitlah yang “menyeret” Hasbullah atau akrab disapa Bang Has ini ke pusaran politik negeri ini.
Berayahkan seorang abdi negara bernama H Rahmad Bujad yang mengabdi di Kementerian Agama dan dipercaya sebagai kepala sekolah di SMA Muhammadyah Lahat dan ibu seorang pedagang ikan, menempa Has kecil menjadi pribadi yang tangguh dan tahan banting.
Has kecil tak malu harus menjadi penggembala sapi saat dia masih SD, tak hanya itu, tangan dan kaki kecil dari anak kampung itu, tak membuatnya harus takut berada di pinggir hutan hanya untuk mencari kayu bakar yang nantinya dgunakan sebagai penghangat diri kala malam menjelang.
“Alhamdulillah, walau jauh dari berkecukupan, masa kecil menempa saya menjadi pribadi yang tangguh, mandiri dan memiliki karakter kuat serta diajarkan bertanggungjawab dengan amanah yang dititipkan orang tua berupa sapi yang harus saya urus saban hari,” ujar suami dari Hj Lusiana Setiawan ini serius.
Pria bernama lengkap HM hasbullah Rahmad SPd, M Hum yang terlahir pada 15 Juni 1971 ini menyadari, tekad saja tak cukup untuk menjadi seseorang yang harus berkontribusi sebagai anak bangsa.
Nah, dengan bekal masa kecil itulah yang selalu mengiringi perjalanan Hasbullah hingga akhirnya menancapkan namanya sebagai seorang politisi dengan wawasan luas dan memahami banyak hal di Ranah Pasundan yang tentu saja jauh dari kampung halamannya di Sumatera sana.
Saat menapak pendidikan MTs setamat SD, Has kecil “naik pangkat”. Dia tak lagi mengurus sapi, namun mengantarkan es ke warung-warung yang harus diantarnya menjelang sekolah.
Di dua jenjang pendidikan itu, pesona seorang tentara berbaju hijau terus memantik semangat Hasbullah untuk nantinya juga menjadi abdi negara yang betugas menjaga pertahanan dan keamanan republik ini.
Namun, harapan itu berbelok 180 derajat kala ayah dari Lula Kamelia, Panji Mahesa, Quin dan Aditya itu menempuh pendidikan di SMAN 2 Lahat. Has yang gagah dan berotak encer dibelikan sepeda motor untuk memudahkannya menuntut ilmu karena jarak antara rumahnya dengan sekolah lumayan jauh.
“Namun di sini pula harapan saya menjadi tentara punah. Keinginan saya itu dibelokkan oleh sebuah sejarah yang tak mungkin saya lupakan. Saat dibonceng teman, sepeda motor yang kami kendarai tabrakan. Hasilnya, tangan saya patah dan secara pasti juga mematahkan niat saya menjadi tentara,” ucapnya sembari tertawa.
Bukan Hasbullah namanya, jika hal itu membuatnya patah arang. Pergaulannya yang luas bisa menjadi cara yang tepat untuk tetap berdiri gagah. Dengan aktif dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti pecinta alam, bola basket, dan sepakbola, pelan tapi pasti dia bisa melupakan kenyataan pahit yang tak bisa menjadi tentara itu.
Darah guru yang mengalir deras dari sang ayah, mengantar Hasbullah masuk ke IKIP Budi Utomo, Malang. Nah, di sinilah sinar terang Hasbullah terlihat dengan jelas. Aktif di organisasi pecinta alam Avos Van Macumba dan Senat IKIP Budi Utomo, Malang mengantarnya menjadi seorang aktivis kampus.
Akan tetapi, ijazah kesarjanaan itu, tak mampu menjadikan Hasbullah menjadi seorang Oemar Bakrie, dia justru “terjerumus” menjadi pioner di jagad aktivis mahasiswa. Di mana saat menempuh pendidikan di pasca sarjana UI, Hasbullah bersama koleganya, antara lain La Ode Ida, Effendi Ghazali dan lain sebagainya menggelar seminar di Salemba.
“Pada seminar itu, ada empat tuntutan kami. Diantaranya Gelar Sidang Istimewa, Turunkan Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI dan Turunkan Harga Sembako,” ucapnya menerawang.
Pria dengan motto hidup “menggali potensi meraih prestasi” ini tak menyangka kalau seminar di Salemba akan menjadi bola salju dan issue seminar tersebut menjadi booming di seluruh Indonesia.
“Pada akhirnya, kami menjadi salah satu lokomotiv pergerakan 98 dan sewaktu penembakan mahasiswa di Trisakti, kami sedang berada di Salemba. Pada masa â masa itu, saya tidak pernah pulang ke kost karena mengawal gerakan reformasi. Waktu rombongan mahasiswa ke Senayan, saya ikut ke Senayan dan waktu Soeharto turun saya juga berada di Senayan. Idealisme saya sangat bertumbuh pesat saat menjadi aktivis di UI,” imbuhnya.
Sebagai bagian dari reformasi, Hasbullah yang sangat mengidolakan Amien Rais pun “terseret” pula arus tersebut dengan menjadi bagian dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang memang didirikan Amien Rais.
Bintang Hasbullah ternyata kian benderang, saat ikut kontestasi politik dengan mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kota Depok tahun 1999, Hasbullah mendapat kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat. Tak hanya sekali, dua kali malah pria ini mendapat kepercayaan masyarakat untuk mengabdi di DPRD Kota Depok.
Meski tak lagi aktif di pergerakan mahasiswa, namun semangat aktivis Hasbullah tak mampu menjauhkannya dengan kegiatan mahasiswa. Dia selalu memantau kegiatan “adik-adiknya” itu.
Namun Hasbullah agak kecewa, sebab dia melihat gerakan mahasiswa dulu dan sekarang sangat jauh sekali perbedaannya. Jika dulu mahasiswa bergerak murni menyuarakan kepentingan masyarakat dengan idealisme murni, namun sekarang dia melihat ada yang menunggangi.
“Dulu pergerakan murni dengan mempertaruhkan nyawa, namun kok sekarang seperti menjadi transaksional dan tidak pragmatis,” katanya balik bertanya.
Penyuka buku dengan koleksi lebih dari 3000-an buku ini menyebutkan, siapapun orangnya, harus mempunyai keyakinan hati. Menurutnya, dalam hidup ini tidak pernah perbuatan baik itu tertukar. ***