π¦ππ¬π punya teman Facebook, bernama Feni Efendi. Lupa saya, sejak kapan kami mulai berteman. Asal mula bertemannya pun, saya tidak begitu ingat lagi. Kalau tidak salah, kami tertaut karena sama-sama penyuka literasi.
Feni Efendi, seorang yang gigih menukil dan menganalisa lalu mendedahkan kembali; sejarah, peristiwa, asal muasal nama suatu tempat dan atau suatu tanda di Tanah Minangkabau. Yang beliau ‘bagi tahu’ itu tidak sebatas cerita dari lapau ke lapau, atau dari mulut ke mulut. Tetapi lebih ke fakta sejarah, realita kultur, relegiusme, dan fakta karakter etnis.
Tidak selalu dari tempo yang dulu sekali yang beliau ungkit dan dedahkan. Yang dari zaman cerita anak bujang bergaya Lupus pun, yang doyan mangunyah gula-gula karet di sembarang tempat pun ada. Tempat nongkrong anak sekolah bolos sekolah pun ia cukil.
Maka kalau sanak-saudaranya, yang belakangan ia panggil Engku, Encik, Tuan, dan Rangkayo, menamai sahabat saya ini sebagai π£ππ‘πππ§ππ§ π ππ π’π₯π ππ’ππππ§ππ, saya pikir sah adanya. Apa yang cukil di suatu tempat, ia catat. Ia simpan untuk kemudian ia ceritakan.
Buku π£πππππ’π ππ’ adalah buah kebandalan sahabat saya ini ‘melalak’ ke banyak penjuru Payakumbuh, Sumatera Barat. Meski belum saya baca, tetapi karena saya selalu mengikuti ‘kebandalan’ beliau, saya duga di PAJACOMBO ini ada ribuan jendela yang bisa dibuka untuk melihat siapa, apa, dan pernah diapakan Payakumbuh itu oleh putra-putrinya, oleh kompeni, dan yang lainnya.
****
π¦ππ¬π pernah mendengar cerita ibu saya, bahwa kota tempat saya dibesarkan, Siantar dan Simalungun, adalah salah satu kota yang menyimpan banyak kisah di zaman onderneming dan di masa gestapu di Sumatera Utara.
Karena memang, di Siantar dan Simalungun itu ada banyak lokasi perkebunan, yang pada zaman kompeni menjadi daerah kekuasaan para tuan kompeni. Dan di masa gestapu sebagai tempat aman untuk berbuat banyak hal.
Di Sidamanik, salah satu kecataman di Simalungun, ada satu kebun dan pabrik teh tersohor. Pada masa pembenahan kebun (1930-an), ada banyak orang Toba di bawa ke sana. Ada kisah yang hendak saya tenun dari masa itu.
Nah, andai ada buku seperti PAJACOMBO, betapa mudahnya merekonstruksi waktu dan latar tempat untuk menenun kisah yang saya maksud. Pun kisah-kisah yang akan ditenun oleh generasi yang akan datang yang membutuhkan setting sejarah akan lebih faktual. Saya yakin, kelak, anak-cucu kita akan mencari-cari cerita tentang daerah kita masing-masing.
Semoga saya keliru; bahwa buku yang menceritakan sejarah dan peristiwa tanah kelahiran saya sebenarnya sudah ada.
*
Riau, 07-12-2021
Ranto Napitupulu, pemerhati sejarah dan memori kolektif